Simple Paraphrasing


Original Text (based on Language and Gender Book by Mary M. Talbot)


Other languages have very different pronoun systems. The Japanese one is complicated by the existence of distinct levels of formality and the need to take into account the status of the person you are talking to in deciding which level to use. There is a range of different words for the first person pronoun, I for instance. There are formal pronouns which can be used by both women and men: watashi and the highly formal watakushi. Less formally, atashi is used only by woman, boku traditionally only by men (there is also another form, ore, available to men if they want to play up their masculinity). Choice of pronoun depends here on the sex of the speaker not the addressee. That is, if you are a woman you must use the “female” pronoun form and if you are a woman you must use the “female” pronoun form and if you are a man you must choose from the “male” forms. Japan does appear to be undergoing change. Girls in Japanese high schools say that they use the first-person pronoun boku, because if they use atashi they cannot compete with the boys (Okamoto 1995: 314).


Paraphrase


Mary (2003:4) stated that the Japanese have an unusual language scheme. A wide variety of conversations can be distinguished between woman and man, both formal and informal. There are some fundamental differences when two different gender talking to each other. It is man and woman when they mention the word I or the first person pronoun. Although there is a common choice for mentioning I for men and also for women, such as Watashi and the highly formal Watakushi, nevertheless in a country whose population extensively using informal language, the use of I differentiated, for instance Atashii is only for women and Boku intended only for men. For the highly informal among manliness, the men in Japan often use the pronoun I with Ore. By the fact of unwritten rules that each different gender has their own language, it proved that the Japanese appreciate their own culture by keep preserving it, though in another condition, as Mary cited in Okamoto (2003: 4) the women want to familiarize themselves in the circle that involving mix gender, in this circumstance rather than using Atashii, they prefer to use Boku.






 

The Same Time (a light novel prototype-

Aktor Johny Deep pernah berkata if you really love two people at the same time, choose the second one, because if you really love the first one you wouldn’t have fallen for the second. Kebanyakan orang mungkin sedikit berbeda dengan penafsirannya. Umumnya;jika seseorang mencintai dua orang dalam waktu yang sama maka pilih yang kedua, namun pertanyaannya yang kedua itu siapa? Quote sebelumnya sama sekali tidak menyebutkan siapa yang pertama maupun yang kedua. Logisnya jika diperhatikan, quote itu bukan focus pada kalimat pertama tapi dikalimat yang kedua. Jika dipisahkan dan berdiri sendiri maka akhir dari kalimat kedua you wouldn’t have fallen for the second one akan meruntuhkan kalimat you really love two people, maksudnya orang itu tidak benar-benar menyukai kedua orang tersebut, maka ditambahkan if untuk really love menandakan jika seandainya yang hakikatnya hanya seperangkat dari kata munafik, semacam menolak takdir atau membuat sesuatu yang jelas salah tapi dibenarkan. Selanjutnya yang dimaksud the second one ini sebenarnya siapa? Sekali lagi ini cuma logika jadi maaf jika membuat para translator, interpreter atau apapun itu kecewa dengan kesimpulan ini. The second one kemungkinan besarnya adalah orang ketiga yang independent. Yang tersingkat dan sesingkat-singkatnya Jatuh Cinta Hanya Berlaku pada Satu Orang Saja. Perasaan yang sebenarnya ada disaat cinta pada pandangan pertama dan itu bukan hanya sebatas pandangan melainkan perasaan. Jika muncul dua orang yang membuat jantungmu berdetak tidak normal percayalah mereka tidak pantas untuk mu karena kamu sendiri yang keliru, dicari dan mencari itu keadaanmu sehingga kau menemukan yang pantas untukmu.


Ini hanya sebagian kecil dari kisahku sebagai orang yang teramat bodoh yang hanya menghabiskan waktu untuk bertindak naïf menyerahkan segalanya pada nasib, membiarkan waktu berlalu tanpa sedikitpun berarti. Yang pada akhirnya membuatku menyesal. Ingin rasanya ku kembali melihat orang ketiga itu hidup sembari tersenyum melihat kebodohanku sebagai kepolosan, ingin sekali ku mengabulkan impiannya dikala masa yang lain muncul dan memberikan secercah harapan yang tergores di lembaran terakhirnya. . . .


A paper Scratch written-aku selalu**** aku ingin hidup bersamamu dan selalu ingin bersamamu walau inderaku tak bisa melihatmu, aku berharap agar senyumku bisa aku bagi untuk kebahagiaanmu.