Resume Pendidikan Berbasis Masyarakat



BAB I
TELAAH TENTANG KONSEP, PENDEKATAN
DAN OUTPUT PENDDIKAN
BUDI PEKERTI

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan Budi Pekerti pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut muncul dilatar belakangi oleh dua kondisi. Pertama, bangsa indonesia saat ini seprtinya telah kehilangan karakter yang telah dibangun berabad-abad. Keramahan, tenggang rasa, kesopanan, rendah hati, suka menolong, solidaritas sosial, dan sebagainya yang merupakan jati diri bangsa seolah-olah hilang begitu saja. Keadaan ini sudah menggunggah kedaran bersama  terhadap perlunya memperkuat kembali dimensi moralitas bangsa kita.

Kedua, kondisi lingkungan sosial kita belkangan ini diwarnai oleh maraknya tindakan barbarisme, vandalisme baik fisik maupun non-fisik, adanya model-model KKN baru, hilangnya keteladanan pemimpin, sering tejadi pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara. Dapat dikatakan, krisis moral yang menimpa bangsa semakin menjadi-jadi yang ditandai dengan maraknya tindak asusila, kekerasan, pembunuhan, perjudian, pornografi, meningkatnya kasusu kenakalan remaja, jumlah pecandu narkoba dan minuman-minuman keras serta menjalarnya penyakit sosial lain yang makin kronis. Akibatnya, tingkat kenyamanan dan keamanan warga masyarakat yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabya, Semarang dan Medan sudah merosot tajam dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.

Menurut pengamat sosial, terjadinya krisi sosial seperti sekarang sebagian bersumber dari kesalahan lembaga pendidikan nasional yang dianggap belum optimal dalam membentuk kepribadian peserta didik. Lembaga pendidikan kita dinilai menerapkan paradikma partialistik karena memberikan porsi sangat besar untuk transmisi pengetahuan, namun melupakan pengembangan sikap, nilai, dan perilaku dalam pembelajarannya. Dimensi sikap juga tidak menjadi komponen penting dari proses evaluasi pendidikan. Hal demikian terjadi karena model penilaian yang berlaku untuk beberapa mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai selama ini hanya mengukur kemampuan kognitif peserta didik.

Orientasi pendidikan nasional yang cenderung melupakan pengembangan dimensi nilai (affective domein) telah merugikan peserta didik secara individual maupun kolektif. Tendensi yang muncul adalah, peserta didik akan mengetahui banyak tentang sesuatu, namun ia menjadi kuarang memiliki sistem nilai, sikap, minat maupun apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahui. Anak akan mengalami perkembangan dengan kematangan kepribadian  sehingga melahirkan sosok spesialis yang kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya dan rentang mengalami distorsi nilai. Sebagai dampaknya, peserta didik akan mudah tergelincir dalam praktik pelanggaran moral karena sisitem nilai yang seharusnya menjadi standar dan patokan berperilaku sehari-hari belum begitu kokoh.

Bercermin kepada keterbatasan upaya lembaga pendidikan dalam membekali nilai-nilai moral peserta didik selama ini telah mengilhami munculnya komitmen dari sejumlah kalangan untuk memberikan pendidikan budi pekerti secara terpisah dari beberapa mata pelajaran yang sudah ada. Atau, setidak-tidaknya melakukan penambahan porsi materi pendidikan budi pekerti pada mata pelajaran Agama dan PPKn.

Diasumsikan, dengan memperkaya dimensi nilai, moral dan norma pada aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberi pegangan hidup yang kokoh bagi anak-anak dalam mengahadapi perubahan sosial. Kematangan secara moral (morally mature) akan menjdikan seorang anak mampu memperjelas dan menentukan sikap terhadap subtansi nilai dan norma baru yang muncul dalam proses perubahan. Demikian pula, dengan bekal pendidikan budi pekerti secara memadai, akan memperkuat konstruksi moralitas peserta didik sehingga mereka tidak gampang goyah dalam menghadapi aneka macam godaan dan rayuan negatif di luar sekolah.

I.             Konsepsi Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral, pendidkan karakter, pendidikan ahklak dan pendidikan nila. Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat istiadat dan budayabangsa indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang baik. Secara umum, ruang lingkup pendidikan budi pekerti adalah penanaman dan pengembangan nilai,sikap dan perilaku peserta didik sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Diantara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat, kebersamaan, setia, seportif, taat azas, takut bersalah, tawakal, tegas tekun, tepat janji, terbuka dan ulet. Jika peserta didik telah memiliki karakter dengan seperangkat nilai-nilai budi pekerti di atas, diyakini ia telah menjadi manusia “baik”.
Jika decermati, sebenarnya ada dua aspek menjadi orientasi pendidikan budi pekerti. Pertama, membimbing hati nurani peserta didik agar berkembang lebih positif secara bertahap dan berkesinambungan. Hasil yng diharapkan, hati nurani peserta didk akan mengalami perubahan dari yang semila bersifat egoisentris menjadi altruis. Kedua, memupuk, mengembangkan, menanamkan nilai-nilai dan sifat positifke dalam pribadi peserta didik. Seiring dengan itu, pendidikan budi pekerti juga mengikis dan menjauhkan peserta didik dari sifat-sifat dan nilai-nilai buruk. Hasil yang diharapkan, ia akan mengalami proses transpormasi nilai, transaksi nilai, dan transinternalisasi (proses pengorganisasian dan pembiasaan nilai-nilai kebaikan menjadi kepercayaan/keimanan yang mempribadi).

Atas dasar ini, dapat dipahami bahwa titik tekan pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan potensi-potensi kreatif subjek didik agar menjadi manusia dan baik menurut pandangan Tuhan. Persoalan manusia “Baik” merupakan persoalan nilai karena menyangkut penghayatan dan pemaknaan yang bersifat afektif ketimbang kognitif. Seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tergantung pada sistem nilai yang di pegangnya. Sistem nilai di sini menjadi preference (pilihan) dari perilaku seseorang yangb menjadi ukuran kepatutan atau kepantasan. Atau dalam ungkapan Rogres, nilai (value) sebagai: Tendency of nay living beings to show preference, in their actions, for one kind of object or objectives rather than another.”

Jadi, orientasi pendidikan moral yakni pengikatan diri dengan nilai-nila, harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam dan bukan karena ancaman atau ketakuatan akan sesuatu. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sebagian besar warganya masih bersikap konformis, pendidikan moral selayaknya memuat unsur atau aspek permurnian motivasi atu intensi. Pada tahap pertama, para peserta didik didasarkan dan diyakinkan bahwa suatu perbuatan dianggap baik secara moral bila didasarkan pada motivasi atau intensi batiniah yang luhur. Kemudian pada tahap kedua, mereka perlu dilatih secara teratur dan berkesinambungan sehingga terbiasa atau selalu sepontan memurnikan motivasi atau intensi dari setiap tindakan mereka.

Dalam tinjauan lain, pendidkan budi pekerti juga memiliki kesamaan misi dengan pendidikan karakter, meskipun pendidikan karakter memiliki kompleksitas tugas yang lebih berat dibandingkan dengan pendidikan budi pekerti. Tugas pendidikan karakter mana nilai-nilai kebaikan dan mana nilai-nilai keburukan, dan justru ditekankan adalah langkah-langkah penanaman kebiasaan (habituation) terhadap hal-hal yang baik. Hasilnya, peserta didik diharapkan mempunyai pemhaman tentang yang mana nilai-nilai kebaikan dan yang mana nilai-nilai keburukan, mampu merasakan nilai-nilai yang baik dan mau melakukannya. Hal ini relevan dengan ungkapan Aristotle, karakter itu erat kaitanya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

  Menurut Lickona (1992), pendidikan karakter yang benar harus melibatkan aspek ”knowing the good ” (moral knowing), “desiring the good” atau “loving the good” “moral feeling” dan “acting the good”(moral action). Sebab tanpa melibatkan ketiga aspek tersebut manusia sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh suatu paham. Oleh karena itu, pendidikan karakter dituntut memberika perhatian terhadap tiga karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action ataun perbuatan bermoral.

Penanaman moral knowing pada konteks ini meliputi: moral awereness (kesadaran moral), knowing moral vanues (pengetahuan nilai-nilai moral), perspektive taking (menggunakan sudut pandang moral), moral reasoning (alasan moral), decision masing (mengambil keputusan moral), dan self-now-ledge (pengetahuan diri). Sayangnya, perhatian yang diberikan oleh dunia pendidikan nasional terhadap dimensi pendidikan afektif masih kurang atau boleh dibilang masih terbengkalai aibat orientasi pendidikan kita yang lebih condong ke cognitive oriented. Kebanyakan praktisi pendidikan kita masih beranggapan, jika aspek kognitif masih dikembangkan secara benar, maka aspek afektif akan ikut berkembang secara positif. Asumsi ini sungguh merupakan kekeliruan yang cukup serius.

Hal ini mengingat pengembangan kawasan afektif pada sistem pendidikan juga memerlukan kondisi yang kondusif. Artinya kita perlu dengan sengaja membuat desain atau rancangan pembelajaran budi pekerti secara benar. Sebagaimna hasil penelitian Jacob (1957) yang dikutip oleh krathwol dan Bloom yang menyatakan, “fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa perilaku afektif berkembang ketika pengalaman pembelajaran yang cocok diberikan bagi para peserta didik sama banyaknya dengan perkembangan prilaku kognitif yang mendapatkan pengalaman pembelajaran yang cocok”.

II.             Model dan Pendekatan Penanaman Nilai Budi Pekerti
Secara teoritis, keberhasilan proses pendidikan budi pekerti antara lain dipengaruhi oleh ketepatan seorang guru dalam memilih dan mengaplikasikan metode-metode penanaman nilai-nilai budi pekerti. Pendidikan budi pekerti di era modern sudah tidak memadai lagi jika hanya mengajarkan metode pembelajaran tradisional yang cenderung didasari asumsi bahwa peserta didik memiliki kebutuhan yang sama, belajar dengan cara yang sama dan pada waktu yang sama, dalam ruang kelas yang tenang, dengan materi pelajaran yang terstruktur secara ketat dan didominasi oleh guru. Metode pembelajaran tradisional tersebut dinilai tidak mampuh mencapai tujuan pendidikan karena kurang mengakomodir kelangsungan pengalaman peserta didik yang diperoleh dalam kehidupan keluarganya. Padahal, peserta didik, pada usia sekolah dasar, masih mendambakan berlangsungnya pengalaman di lingkungan keluarga dapat dialami pula di sekolah. Pengalaman anak yang masih bersifat global tentu menuntut penerapan model pembelajaran yang relevan dengan karakteristik mereka.

Menurut penulis, proses pennaman nilai-nilai budi pekerti yang dianggap cocok untuk anak-anak adalah model pembelajaran yang didasarakan pada interaksi sosial (model interaksi) dan transaksi. Model pembelajaran interaksional ini dilaksanakan berdasarkan dari prinsip-prinsip, yaitu:

a)        Melibatkan peserta didik secara aktif dalam belajar,
b)        Mendasarkan pada perbedaan individu,
c)         Mengaitkan teori dengan praktik,
d)        Mengembangkan komunikasi dan kerjasama dalam belajar,
e)        Meningkatkatkan keberanian peserta didik dalam mengambil risiko dan belajar dari ksealahan,
f)          Meningkatkan pembelajaran sambil berbuat dan bermain, dan
g)        Menyesuaikan pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif yang masih pada taraf operasi konkret.

Disamping itu, dalam penyajian pokok-pokok bahasan tentang moral diberikan pada anak-anak berdasarkan prinsip-prinsip, yaitu:

a)        Dari yang mudah ke yang sukar,
b)        Dari sederhana ke yang rumit,
c)         Dari bersifat konkret ke yang abstrak,
d)        Menekankang pada lingkungan ke yang paling dekat dengan anak samapai pada lingkungan kemasyarakatan yang lebih luas.

Efektifitas proses penanaman nilai-nilai budi pekerti agaknya sangat dipengaruhi oleh ketepatan pendekatan yang dipilih guru dalam mengajar materi tersebut. Pada konteks ini, setidak-tidaknya ada delapan pendekatan yang dapat digunakan dalam mengajarkan pendidikan budi pekerti, yaitu:

a)        Evocation adalah pendekatan yang memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada peserta didik untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterima.
b)        Inculcation adalah pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondidsi siap.
c)         Moral reasoning adalah pendekatan agar terjadi teransaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan dalam suatu masalah.
d)        Value clarification adalah pendekatan melalui stimulus terarah agar peserta didik diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral.
e)        Value anlysis adalah pendekata agar peserta didik dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral.
f)          Moral awareness adalah pendekatan agar peserta didik menerima stimulus dan dibangkitkan kesadaranya akan nilai tertentu.
g)        Commitment approach adalah pendekatan agar peserta didik sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam suatu proses pendidikan nilai.
h)        Union approach adalah pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil nilai-nilai budi pekerti dalam suatu kehidupan.

Dengan ungkapan lain, seorang guru pendidikan budi pekerti dituntut untuk menggunakan satu model pembelajaran jika ia menginginkan proses penanaman nilai-nilai moralitas kepada peserta didik berjalan secara optimal. Model pada tulisan ini yang dimaksud ialah sebuah bentuk konstruksi yang dapat berwujud konsep atau maket yang menggambarkan secara lengkap sebuah pemikiran atau gambaran bentuk fisik sebuah benda dalam skala yang lebih kecil. Menurut Superka, pendekatan nilai dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu:

a)           Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach),
b)           Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach),
c)            pendekatan analisi nilai (value analysis approach),
d)           Pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach), dan
e)           Pendekatan pembelajaran berbuat (action lerning approach).

A.        Pendekatan penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberikan penekanan pada penanaman niali-nilai sosial dalam diri peserta didik. Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan kepada peserta didik karena nilai-nilai sosial berfungsi sebagai acuan bertingkah laku dalam berinteraksi antara sesama sehingga kebenarannya dapat diterima di masyarakat. Sebagaimana dirumuskan Raven, bahwa nilai-nilai sosial merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar bertingkah laku guna mendapatkan/memperoleh masyarakat yang demokratis dan harmonis.

Nilai-nilai sosial perlu menjadi materi pendidikan budi pekerti karena menjadi fondasi penting bagi pembangunan bangsa. Nilai-nilai sosial memberikan podoman bagi warga masyarakat untuk hidup berkasih sayang antara sesama manusia, hidup harmonis, hidup disiplin, hidup berdemokrasi dan hidup bertanggung jawab. Sebaliknya tanpa nilai-nilai sosial, suatu masyarakat atau negara tidak akan mendapatkan/memperoleh kehidupan yang harmonis dan demokratis. Dengan demikian, nilai-nilai sosial tersebut mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai sosial terdiri atas beberapa sub nilai, yaitu:

1.         Loves (kasih sayang) yang terdidri atas pengabdian, tolong menolong, kekeluargaan, kesetiaan, dan kepedulian.
2.         Resposibility (tanggung jawab) yang terdiri atas nilai rasa memiliki, disiplin dan empati.
3.         Life harmony (keserasian hidup) yang terdiri atas nilai keadilan, toleransi, kerjasama, dan demokrasi.

Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan penanaman nilai ada dua. Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh pesrta didik. Kedua, berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan pendekatan penanaman nilai antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan dan lain-lain. Jika dicermati pendekatan penanaman nilai sebenarnya merupakan pendekatan tradisional.

Banyak kritik literatur Barat yang ditujukan pada pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya bsendiri secara bebas. Menurut Raths et all, kehidupan manusia dibedakan karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurutnya, setiap generasi berhak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melaikan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.

Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang menjungjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, disadari atau tidak, pendekatan ini digunakan secara meluas diberbagai masyarakat, terutama penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Pada penganut agama memiliki kecendrungan kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-bats kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, fan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keiman merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.

B.        Pendekatan Perkembangan Kognitif
Ia dikatakan perkembangan kognitif karakteristiknya memberikan penekanan pada spek-aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendonrong peserta didik untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral dari, tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi.

Tujuan yang ingin dicapai dari pendekatan ini ada dua hal yang utama, yaitu:

1.         Membantu peserta didik dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan nilai yang lebih tinggi.
2.         Mendorong peserta didik dalam mendiskusikan alasan-alasannya dalam memilih nilai dan posisinyadalam suatu masalah moral.

Proses pengajaran nilai, menurut pendekatan ini, didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi ini dilaksanakan dengan memberikan perhatian pada tiga kondisi penting, yaitu:

1.         Mendorong peserta didik dalam menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi.
2.         Adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun  dilema faktual berhubungan dalam nilai kehidupan seharian.
3.         Susana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik.

Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, peserta didik didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat dan apa alasan-alasannya. Peserta didik melakukan seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif yang diajukan dan selanjutnya mengorganisasikan nilai-nilai terpilih tersebut.




C.        Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai, memberikan penekanan pada perkembangan ke,mampuan pesrta didik untuk berfikir logis, dengan cara menganilisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan anatara keduanya bahwa pendekatan analisis bahwa lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.

Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini, ialah:

1.         Membantu peserta didik untuk menggunakan kemampuan berfikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan nilai moral tertentu.
2.         Membantu peseta didik untuk menggunakan proses berfikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metode pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran seacara individu atau kelompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan atas pemikiran rasional.

Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini. Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian maslah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut:
                  

Langkah analisis nilai:


Tugas penyelesaian maslah:
1.         Mengindentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait
1.         Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait.
2.         Mengumpulkan fakta yang berhubungan.
2.         Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai  yang terkait.
3.         Menguju kebenaran fakta yang berkaiatan.
3.         Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
4.         Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan.
4.         Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.
5.         Merumuskan keputusan moral sementara.
5.         Mengurangi perbedaan dalam runusan keputusan sementara.
6.         Menguju prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan
6.         Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.

Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti dalam rumusan prosedur analisi nilai dalam penyelesaian maslah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.

Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metode pengajaran yang digunakan. Pendekatan ini juga dinilai sangat menekankan aspek kognitif,  dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.

D.        Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai, memberi penekanan pada usaha membantu peseta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka sendiri. Pendekatan ini dinilai efektif untuk pendidikan di alam demokrasi. Seperti diakui Harmin, Kirschenbaum dan Simon:

Anak-anak muda tidak senang kalau nilai-nilai dipaksakan terhadap mereka. Apa yang sesungguhnya mereka dipelajari ialah keterampilan-keterampilan yang berguna bagi mereka untuk mengembangkan nilai-nilainya. Oleh karena itu, lebih efektif mengajarkan proses pembentukan nilai (process of valuing) daripada mengajarkan seperangkat nilai”.

Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga, yaitu:
1.         Membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain.
2.         Membantu peserta didik, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri.
3.         Membantu pserta didik, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri.

Dengan pendekatan penanaman nilai, para peserta didik tidak hanya disuruh menghafal dan disuapi dengan nilai-nilai yang sudah dirumuskan oleh pihak lain, melainkan mereka diajari untuk menemukan, menghayati, mengembangkan, dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Peserta didik tidak dipilhkan, namun mereka diberi kesempatan untuk menentukan sendiri apa yang mereka yang mau kejar, perjuangkan dan utamakan hidup mereka.

Fokus dari proses klasifikasi nilai adalah bagaimana seseorang sampai pada pemilikan nilai-nilia tertentu dan membentuk pola-pola tingkah laku. Proses pembentukan nilai mencangkup tujuan subproses yang biasanya digolongkan menjadi tiga kategori berikut:








1.    Memilih (kognitif)

    1.        Memilih dengan bebas


    2.        Memilih dari berbagai alternatif

    3.        Memilih dari berbagai alternatif sesudah mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing alternatif





2.    Menghargai/ menjungjung (afektif)


4.        Merasa bahagia atau genbira dengan pilihannya


6.        Bersedia mengakui pilihannya itu didepan umum






3.    Bertindak (konatif/ behavioral)



7.        Berprilaku sesuai dengan pilihannya



8.        Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup.

Pendekatan ini memiliki banyak kelebihan terutama dalam meberikan penghargaan yang tinbggi kepada peserta didik sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai dan bertindak berdasarkan nilainya sendiri. Metode pengajarannya juga sngat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan.

Sama halanya dengan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga mengandung kelemahan, yakni menampilkan bias budaya Barat dan Amerika. Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai peseorangan.

Sistem pendidikan menurut pendekatan ini tidak lagi berfungsi membentuk moral dan karakter peserta didik. Sebaliknya peserta didik didorong untuk tumbuh dan berkembang kebebasannya dengan mengenalkan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam kehidupan selama hati nurani menyatakan benar sebgaimana dituliskan. Akibtatnya, peserta didik tidak mampu baik dan benar karena setiap orang mempunyai penempatan sendiri-sendiri tentang  baik dan benar.

E.        Pendekatan Pembelajaran  Bebuat
Pendekatan pembelajaran berbuat memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan pada peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun bersama-sama dalam suatu kelompok.

Ada dua tujuan utama pendidikan moral yang diwujudkan dengan penerapan pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, secara perorangan maupun secara bersama-sama berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong peserta didik untuk memposisikan diri mereka sebagai mahkluk individu dan mahkluk sosial dalam pergaulan dengan sesama. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak bisa bertindak bebas sekehendak hati, namun bersikap sebagai bagian dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalam suatu proses dempkrasi.

Metode pengajaran yang digunakan adalah metode yang digunakan dalam analisis nilai dan klarifikasi nilai dan ditambah metode-metode lain yang digunakan sesuai agenda kegiatan yang dilaksanakan di sekolah atau ditengah-tengah masyarakat ataupun praktik keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan dengan sesama.

IV.        Menilai Kemajuan Pendidikan Budi Pekerti
Visi utama pendidikan budi pekerti adalah untuk melakukan transfer dalam transmisi sistem nilai yang memungkinkan peserta didik mengalami perubahan sikap, sifat dan perilaku secara lebih positif. Tentunya, ada ukuran minimal untuk menilai ukuran seorang peserta didik telah mengalami perkembangan kualitas karakter atau moral. Seorang anak akan dinilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku sehari-hari. Jika ia berperilaku jujur dan suka menolong, ia dikatakan sebagai orang yang berkarter mulia. Sebaliknya, jika ia tidak berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus, ia dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek.

Seseorang yang mengetahui sebuah nilai tapi tidak melahirkan mengamalan, maka kemungkinan itu terjadi lantaran pengetahuannya masih berhenti pada titik coknitiodan tidak melahirkan apa-apa. Tapi hal tersebut bisa juga dikarenakan pengetahuannya berhenti pada titik afectio bila ia merasakan nilai-nilai yang telah ia ketahui tapi tidak sampai pengamalannya. Barangkali fenomena ini cocok untuk melukiskan kejangggalan-kejanggalan perilaku para ahli hukum, seperti para advodkat, hakim dan jaksa. Masyarakat mengenggap mereka mengetahui nilai-nilai untuk membela dan menegakkan keadilan. Tetapi dalam kehidupan nyata, diantara mereka da yang mengingkari atau bahkan menginjak-injak nilai keadilan tadi.

Kelemahan pedagogis ini harus segera dibenahi. Pada konteks ini, setidak-tidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan dalam membenahi kualitas pendidikan budi pekerti. Pertama, memeperkaya pendidikan budi pekerti yang beriontasi pada pengembangan proses batin peserta didik sampai menembus volitio conatio. Kedua, pendidikan budi pekerti sudah saatnya diorientasikan untuk meberdayakan hati nurani peserta didik. Pemberdayaan hati nurani ini dimaksudkan untuk membantu usaah peserta didik dalam mengembangkan kemampuan hati nurani atau kesadaran moralnya agar ia mampuh menilai dan membedakan kebaikan dan kejahatan moral dari perbuatn-perbuatannya secara personal. Dengan hati nurani yang berkembang, peserta didik tidak menilai kebaikan dan kejahatan perbuatannya hanya berdasarkan umpan balik dari orang lain seperti kritikan dan teguran maupun pujian dan penghargaan, namun lebih berdasarkan kesadaran moralnya sendiri.

Ketiga, perlu kesadaran bersama orang tua, para guru dan seluruh warga masyarakat untuk mengajarkan nilai-nilai budi pekerti. Alasannya, manusia dalam memahami perbedaan antara kebaikan dan kejahatan moral tidak hanya cukup secara personal dengan menggunakan hati nuraninya. Tetapi juga untuk membutuhkan pemahaman terhadap nilai-nilai moral secara societal
atau diberitahu oleh sesama warga masyarakat.





















BAB II
PENDEKATAN INTEGRATIF DALAM
PROSES PEMBELAJARAN AHKLAK

Suara-suara krtis yang mepertanyakan kontribusi pedidikan agama dalam mendidik moral/ ahklak siswa hingga kini masih terdengar. Krtikan itu muncul dipicu oleh ketidak puasan sebagai orang tua terhadap output pendidikan agama yang selama ini dianggap belum optimal dalam mempersiapkan dan memperkokoh benteng moralitas siswa dalam menghadapi godaan, residu, dan pengaruh-pengaruh negatif dari kehidupan modern. Akibat masih rapuhnya bangunan moral atau ahklak mengakibatkan sebagian anak dan remaja yang nota bene berstatus pelajar (setidak-tidaknya pernah menjadi pelajar) gampang terjerembab dalam lingkaran pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, tawuran, dan praktik amoral lain.

Menghapus Dikotomi
Selama ini masih kita rasakan, betapa minimnya tingkat keterlibatan guru dan non agama dalam ikut mendukung tugas-tugas guru agama dalam membentuk moral anak. Jarang kita jumpai guru mata pelajaran non agama yang punya kesadaran, apalagi komitmen, untuk mengaitkan materi yang disampaikan dengan nilai-nilai ahklak atau budi pekerti. Pada guru agama agaknya terfokus pada tugas-tugas penyampaian bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya.

Sikap guru non agama cenderung berorientasi pada tugas-tugas mengajar sesuai bidang studi yang dipegangnya sudah tidak relevan lagi dipertahankan. Hal ini setidak-tidaknya didasari dua alasan, yaitu:

1.          Pemberlakuan UU Republik Indonesia NO 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada tanggal 8 Juli 2003 telah membawa implikasi yang cukup serius dalam dunia pendidikan nasional. Kini dalam dimensi akhlak, moral atau budi pekerti mendapatakan apresiasi secara khusus dalam UU tersebut.
2.          Secara anthropologis dan sosiologis, fungsi pendidikan yang utama adalah untuk menumbuhkan kreatifitas subjek didik serta untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak didik. Sebagai konsekuensinya, semua proses pembelajaran di sekolah, apapun mata pelajarannya, punya kewajiban untuk mengembangkan potensi-potensi kreatif subjek didik agar menjadi manusia berahklak mulia.

Sayangnya, kesadaran meng-sharing atau membagi tanggung jawab dalam menanamkan nilai-nilai ahklak diantara para guru dalam realitasnya di sekolah belum berjalan sesuai harapan. Yang terus terjadi justru proses pembebanan tanggung jawab pendidikan ahklak atau budi pekerti ke pundak para guru agama dan PPKn. Sementara pada pendidikan di luar mata pelajaran ini secara moral merasa tidak punya tanggung jawab untuk mendidik ahklak siswa.

Sikap demikian itu perlu diluruskan. Pasalnya, secara hakiki semua guru di sekolah dituntut berupaya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, menumbuhkan kreatifitas serta mengembangkan skill siswa agar nantinya menjadi generasi yang berguna dan berbudi pekerti luhur. Singkatnya, lembaga pendidikan formal dituntut menjalankan proses membangkitkan dan nilai-nilai budi pekerti.

Membangun Sinergi Antar Pelajar
Proses penanaman nilai-nilai ahklak atau budi pekerti di sekolah menengah akan berjalan efektif jika ada korelasitas (saling berhubungan), konegsitas (saling menyapa) dan hubungan sinergis antara pendidikan agama dengan mata pelajaran lainnya. Ini berarti nilai-nilai ahklak atau budi pekerti tidak harus di bingkai dalam wadah pelajaran Pendidikan Agama maupun PPkn, namun dapat juga diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain seperti bahasa indonesia, kesenian olahraga, dan lain-lain dengan penekanan ruang lingkup dan muatan yang lebih mendalam. Atau minimal, nilai-nilai ahqlaki dapat ditanamakan melalui aktivitas belajara mengajar mata pelajaran umum dengan menggunakan terma ataupun bahasa yang mudah diserap siswa. Sehingga dalam subtansial, dunia pendidikan kita tidak mengembangkan keyakinan epistomologis ”ilmu bebas nilai”, namun sebaliknya mengembangkan keyakinan epistomolgis “ilmu momot nilai”.

Oleh karena itu, setiap mata pelajaran seyogyanya tidak hanya mengandung subtansi pelajaran yang bersifat kognitif, namun yang dibalik hal-hal kognitif terdapata sejumlah nilai dasar  yang harus diketahui oleh siswa. Pelajaran fisika misalnya mengajarakan kecermatan dan kejujuran dalam pengamatan. Anak yang ceroboh dalam pengamatannya tidak akan memahami fenomena fisika secara baik. Matentika juga mengandung nilai. Dalam matematika terdapat nilai konsistensi dalam berfikir logis, pemahaman aksioma kemudian mencari penyelesaian melalui pengenalan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada (semua probabilitas) lalu mengelimasi sejumlah kemungkinan yang pasti akan membawa kepada jawaban yang benar. Dari sini ada pengenalan probalitas, ada emiliminasi probalitas, ada konklusi yang menunjukkan jalan yang pasti akan menuju kepada suatu jawaban yang benar.

Komitmen Kolektif
Berbagai sorotan terhadap kelemahan pendidikan agama dalam menanamkan moralitas kepada siswa sudah seyogyanya menggugah komitmen bersama untuk berikan pendidikan ahklak secara maksimal ketimbang waktu-waktu sebelumnya. Jika memungkinkan, porsi pendidikan ahklak diberikan secara terpisah dari beberapa mata pelajaran yang sudah ada. Peluang untuk memberikan materi pelajaran pendidkan ahklak mandiri agaknya terbuka lebar pasca pemberlakuan Kurikulum Berbasi Kompotensi (KBK) pada Juli 2004.

Kepala sekolah sangat dibutuhksn untuk membantu penciptaan suasana yang mendunkung terbinanya budi pekerti peserta didik, karena ia memiliki wewenang yang luas, melalui inisiatif dan komunikasi yang lancar dengan guru dan tata usaha, kepala sekolah dapat membina dan mengontrol pembentukan budi pekerti anak di sekolah.

Sementara dari lingkunfan masyarakat yang menjadi tempat bergaul anak dituntut memberikan pra-kondisi, menjadi referensi sekaligus cermin bagi implementasi ajaran ahklak secara konsisten. Pada konteks ini, relevan kita kemukakan pendapat sebagian pakar pendidikan yang menyatakan, bahwa pada saat ini masih terjadi kesenjangan dan perbedaan antara lain sosial di sekolah dengan nilai sosial yang berkembang di masyarakat. Bahkan ironis, dalam realitas sosial sering muncul (nilai ganda) yang cederung membingunkan.

Sinyalemen itu bukan isapan jempol, namun didukung oleh sejumlah fakta di lapangan. Di sekolah dan dirumah, misalnya anak disuruh tekun, rajin belajar dan tidak menyerobot kepunyaan orang lain. Namu, banyak di masyarakat banyak anak yang tidak belajar dan tidak sekolah dengan  baik tiba-tiba jadi terkenal karena KKN.

Anak-anak di sekolah diajar nilai-nilai kerukuna dan persaudaraan, namun realitas yang ia saksikan menunjukkan gejala sebaliknya. Antara anggota masyarakat akhir-akhir ini gampang berselisih dan bertikai gara-gara maslah sepele seperti rebutan lahang ekonomi, rebutan harta warisan, perbedaan parpol, perbedaan pemahaman keagamaan dan sebagainya. Anak diajari cara berbicara dan berprilaku sopan santun, tapi begitu mudahnya ia menjumpai prang-orang ditepi-tepi jalan, kendaraan maupun di tempat-tempat lain, mengeluarkan umpatan, cacian maupin kata-kata kotor. Anak-anak juga diajarkan untuk menjauhi minuman-minuman keras tapi realitas yang dilihatnya sering kali memperlihatkan banyak orang yang mendemontrasikan perilaku sebaliknya seprti bermabuk-mabukan di warung-warung dan di tempat-tempat hiburan.




                                                             BAB III

PARADIGMA MULTIKULTURALISME
DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM DUNIA PENDIDIKAN   

Memperbincangkan konsep pendidikan multikultural di tengah kehidupan masyarakat yang masih rawan konflik brnuansa SARA seperti sekarang tentunnya snagat signifikan. Apalagai seperti sekarang sejak ada himbauan Presiden Megawati Soekarnoputri kepada Departemen Agama untuk mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural (oktober / 2001), hingga kini belum muncul respons sungguh-sungguh untuk menindak lanjutinya. Wacana pendidikan multi-kulturalisme memang sempat menghangat di massa media dan menjadi bahan diskusi disejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk memformulasikannya ke dalam gagasan yang lebih aplikatif.
Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan seacara signifikan. Sebaliknya, para elite politik dan elite agama, atau pakar ilmu sosial adalam menganalisis akar persoalan konflik cenderung menjadikan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai kambing hitam. Amat sedikt yang mau mengakui kalau persoalan konflik atau kekerasan itu berkait erat dengan praktik pengajaran pendidikan (agama) dan moral yang belum mupuk kerukunan bersama.
Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masin g-masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring keranah pendidikan. mulai dari segi materi sampai metodologi yang diajarkan di sekolah, peantren, seminari, dan masyarakat umumnya, memiliki kecendrungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara persial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi maslah,semacam maslah keyakinan seorang hambah dengan tuhannya. Seakan maslah syurga atau kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan ibadah atau akidah saja. Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum (al ahwa al hummah) semacam sikap anti korupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepudilian terhadap sesama.

Fenomena di atas tentu saja patut disesalkan, pasalnya saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras, adat istiadat, dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa pada saat ini belim benar-benar steril dari ancaman konflik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat dikatakan, serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sangau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan Maliku sejak (1999), sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa meledak jika tanpa langkah antisipatif secara dini. Untuk itu, mengahdirkan konsep multikultural merupakan bagian dari usaha konferehensip dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA.

Disamping itu, kita juga telah berkomuitmen untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), demokratis dalam perkehidupannya (democratization), mampuh menegakkan keadilan hukum (law enforcement), memilik kebanggaan diri baik individual maupun kolektif (human dignity) serta mendasarkan diri pada kehidupan beragam  dalam pergaulannya (religionisme).

Konsep yang Mengakar
   Jika kita telaah, konsep multikultularisme sebenarnya relatif baru dibandingkan konsep pluralitas maupun keragaman. Menurut Bhiku Parekh (Gurpreat Mahajan, Democracy, Difference,dan justice, 1998 ), baru sekitar 1970-an  gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggis, Jerman, dan lainnya. Selain itu, ketiganya memiliki titik tekan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, bahkan tak dapat disamakan. Sedangkan multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik  sehingga dibutuhkan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa ataupun agama.

Wacana untuk multikulturalisme dalam konteks Indoneisa menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya resim Soeharto. Saat itu, negara menjadi kacau-balau dengan berbagai konflik antara suku bangsa dan golongan, yang menimbulkan ketrkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Keadaan demikain lantas membuat berbagai pihak semakin mepertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa mebuat suku-suku bangsa dan serta golongan hidup damai dengan menimalkan potensi konflik.
Dengan ungkapan lain, bangunan Indonesia baru yang diharapkan lahir dari rahim reformasi adalah “masyarakat multikultural Indonesia”, atau masyarakat Indonesia yang berideologi multikulturalisme yang bercirikan: rela dan sadar mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam ksederajatan baik secara individual maupun dari secara kebudayaan. Berpijak pada prinsip multikulturalisme ini, masyarakat Indonesia hakikatnya mengakui dan menerima sebuah konstruk kebudayaan yang berlaku umum atau bercorak seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar.

Prinsip multikulturalisme ini sebenarnya telah menjadi acuan bagi pendiri Bngsa indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan nasional, sebagai dirumuskan dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah.

Oleh karena itu, prinsip multikulturalisme dapat dijadika sebagai strategi dan pendekatan dalam merajut hubungan antara warga yang belakangan ini mudah terbawa dalam suasana yang penuh konfliktual sebagai efek samping dari era keterbukaan. Multikulturalisme juga dipakai sebagai perangkat analisis atau perspektif guna memahami dinamika keanekaragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan dan agama. Sebagai integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

Dalam konstelasi perpolitikan nasional, multikulturalisme direkonstruksikan oleh sekolompok ilmuan sebagai hasil koreksi terhadap kegagalan rezim Orde Baru dalam mengelola masyarakat yang multi-etnik ini. Orde Baru saat itu cenderung menerapkan pendekatan asimilasionisme dan pendekatan diferensialisme dalam mengelola perbedaan etnis, kultur, agama dan lain-lain.

Pendekatan asimilasionisme menganggap etnik minoritas akan sepenuhnya membaur ke dalam masyarakat mayoritas (dan negara) dengan melakukan tindakan “perubahan individual” yang sering kali berupa pengorbanan individu untuk tidak lagi menjalankan berbagai kebiasaan, kepercayaan dan berbagai aktivitas, sosio-kultural yang selama ini menjadi bagian penting bagi identintas etniknya. Dengan cara ini, diperkirakan elemen perbedaan bisa diminimalkan dan konflik bisa dihindari. Berpijak pada model ini, peran negara ditingkat kebijakan maupun lkelembagaan sering kali terbatas karena perubahan kearah apa yang dinamakan sebagai “pembauran” tadi telah dialihkan menjadi tanggung jawab individual.


BAB IV

        IMPLEMENTASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN
                                           
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa tebal paradigma multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, solidaritas, dan intiminitas diantara beragamnya etnit, ras, agama, budaya dan kebutuhan diantara kita.

Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap untuk peserta didik dalam menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain, harapannya dengan implementasi yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa untuk mengerti, menerima, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, agama, nilai dan kpribadian.

Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, dan etnis dan kebutuhan diantara sesama dan mau hidup bersama secara damai.

Agar proses ini berjalan sesuai dengan rencana atau harapan, maka segyanya kita mau jika pendidikan multikultural disesosialisasikan dan didesiminasikan melalui lembaga pendidikan, serta jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisitjuga menjadi salah satu dari Pasal 4 UU NO. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam pasl itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa.

Pada kontes ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, rspek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidaktoleran seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah tidaknya teologi atu ideologi), peran agama,diskriminasi, dan hegomoni budaya ditengah kultur monolitik, uniformunitas global.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruang kosong, namun ada interes plotik, sosial, ekonomi, dan intelektual  yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publuk pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an.

Diantara lembaga-lebaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persaan kesempatan dibidang pekerjaan dan pendidikan momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an, agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dia yang mebumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan.

Pada pertengahan dan akhir tahun 1980-an, muncul sekelompok sarjan diantaranyan Cal Grant, christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan yang lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan persamaan dan menghubungkannya dan tranformasi dan perubahan sosial.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini pendidkkan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemhaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecendrungan primordialiasme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikn multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalh untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalakan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demikratis-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi dan komunikasidengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanam masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

Menurut James A. Banks, tujuan pendidikan multikultural dirumuskan sebagai berikut:

Pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan. Pendidikan multikultural yang dimaksudkan untuk membantu para siswa dalam mengembangkan pengetahuan sikap, dan keterampilan dalam berpartisipasi dalam masyarakat yang bebas dan berdemokratis. Pendidikan multikultural mengembangkan kebebasan, kemampuan dan keterampilan dalam menerobos batas-batas budaya dan etnis dalam berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain.

Singkatnya, paradigma pendidikan multikultural diharapakan dapat mengahpus stereotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan ekslusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, senatiasa dikondisikan bagi tumbuhnya pandangan komperehensif  terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang ,mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekelililng yang realitasnya terdiri atas pluralitas  etnis, ras, agama dan budaya serta kebutuhan.
Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses idenrifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, susku bangsa dan masyarakat global. Pengenalan suku bangsa artinya, anak dilatih untuk bisa hidup sesuai kemampuannya dan berpearan positif sebagai salah satu seorang warga dari masyarakatnya


Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut ini:






            1.          Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan panadangan dan perspektif banyak orang.
            2.          Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal pada kebenaran sejarah.
            3.          Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komperatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
            4.          Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsippkok dalam memberantas dengan klise tentang ras, budaya dan agama.

Bisa digaris bawahi, nilai dasar pada pendidikan multikultural adalah toleransi. Oleh karena itu, toleransi merupkan sikap kewargaan yang aktif , bukan sikap yang sepontan. Maka sikap toleran tidak akan tertanam dengan sendirinya, tanpa adanya usaha sadar menginternalisasikannya. Sikap toleransi harus di didikkan, tidak cukup berhenti pada wacana. Keputusan majelis ulama, keputusan konsili, kesepakatan gereja-gereja sedunia dan kesepakatan hasil pertemuan tokoh agama yang menganjurkan toleransi tidak akan cukup efekti bila hanya berhenti di alas kertas dan bibir, tanpa dukungan pendidikan dalam arti luas.

Sebagai konsekuensinya, agar pendidikan lebih multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme, diskriminasi, gender dan bentuk-bentuk lainnya dari intoleransi dan dominasi sosial.

Seorang pendidik bisa menggunakan “payung multikultural” dalam membatu anak didik untuk memahami keterlibatan banyak kelompok dan keinginan di masyarakat. Caranya anak didik di kelas diberi waktu 5-10 menit untuk menyusun daftar anggota kelompoknya. Tiap-tiap kelompoknya membacakan apa yang tertulis diruas payung yang dihadapinya.

Setelah itu, kelompok lain disuruh untuk memberikan reaksi, refleksi dan tanggapan. Jika anak didik bisa menarik pemahaman terhadap payung multikultural tersebut, diyakini hal itu akan menumbuhkan sensitifitas multikultural mereka, yakni sebuah kesadaran bahwa anekaragam ras, etnis, agama, kebudayaan dan kelompok kepentingan yang dihadapinya tak akan menghalangi mereka untuk hidup berdampingan secara damai, rukun dan kohesif.

Atas dasar ini maka pendidikan multikultural sangat menekankan orientasi proses pendidikan pada siswa atau komunitas tertentu, yang memungkinkan guru memahami keyakinan serta nilai-nilai sosio-budaya siswa dalam konteks kebudayaan masyarakat ketika merancang model pembelajarannya. Para pendidik pada konteks ini disarakan menggunakan metode-metode yang bersifat antropologis untuk mengidentifikasi kelompok sosio-budaya, nilai-nilai serta peraktiknya yang memengaruhi proses berkaryanya. Pendekatan itu juga menyarankan pentingnya mengidentifikasi penggunaan pendidikan yang tanggap budaya, yang secara lebih tegas dapat menunjukkan perbedaan etnik dan sosio-budaya di kelas, masyarakat, dan nasional.

Pada akhirnya, bisa tidaknya wacana pendidikan multikulturalisme di terapkan oleh lembaga pendidikan tergantung pada iktiar kita bersama. Pada konteks ini, Depdiknas R.I agaknya sebagai pihak yang pantas ditunggu peran aktifnya. Setidak-tidaknya Depdiknas R.I mau mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah dari tingkat SD sampai pada tingkat SLTA.

Multikulturalisme sebaiknya di masukkan ke dalam kurikulum sekolah dan pelaksanaan dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antara suku bangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan berbagai tempat lainnya. Jika pelajaran multikulturalisme jadi dilaksanakan di sekolah-sekolah, maka bisa menjadi antisipasi dalam mencegah munculnya konflik berdarah antara sukubangsa.























BAB V
MENYELAMATKAN PELAJAR DAN MAHASISWA DARI ANCAMAN NARKOBA

Tiap tanggal 26 Juni kita memperingati Hari Anti-Madat sedunia, atau sekarang dikenal denga sebutan Hari Internasional Melawan Penyahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Angka penyalahgunaan Narkoba meningkat tajam meski aparat keamanan Badan Nakotika Nasional (BNN), Gerakan Anti Narkoba (Granat) serta beberapa LSM yang peduli terhadap permaslahan Narkoba.

Berdasarkan catatn, kasus-kasus narkoba yang terungkap meningkat tajam di Indonesia setiap tahun 288 triliun terbuang percuma untuk meningmati narkoba. Sebanyak 5,5 juta jiwa pernah atau sedang mengalami ketergantungan narkoba, dan angkahnya terus bertambah. Sekedar gambaran, pada tahun 1998 ada 938 kasus, tahun 1999 terungkap 1.833 kasus berarti peningkatan 91,1 persen. Sedangkan tahun 2000 ada 3.478 kasus berarti peningkatan 91 persen dari tahun sebelumnya dan meningkat lagi 3.617 kasus pada tahun 2001.

Data lain yang dihimpun dari Rumah Sakit ketergantungan Obat (RESKO) Jakarta dan kepolisian memperlihatkan peningkatan tajam jumlah pasien. Tahun 1996 tercatat 1.779 kasus, tiga tahun kemudian melonjak menjadi 8.170 kasus. Lebih mengerikan lagi karena ternyata penyalahgunaan narkoba khususnya yang menggunakan jarum suntik berkaitan dengan HIV/AIDS. Sekitar 30-40 persen penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik trinfeksi HIV / AIDS. Data yang sangat memperihatinkan: penggunanya rata-rata usia muda  dan jaringannya semakin meluas, bahkan sudah sampai ke anak-anak SD.

Penyebab Penyalahgunaan
Narkoba

Kita mengakui penyalahgunaan narkoba bagaikan fenomena gunung es. Jumlah pelaku yang tampak kepermukaan yang jauh lebih kecil daripada jumlah pelaku yang sebenarnya. Maraknya peredaran narkoba akhir-akhir ini semakin memperkuat kesimpulan kita bahwa Indonesia bukan lagi tempat transit perdagangan dan peredaran gelap narkoba, namun telah menjadi daerah pemasaran bahkan telah menjadi produsen peredaran gelap. Pintu masuknya narkoba di Indonesia semakin bayak sehubungan dengan semakin terbukanya jalur transportasi dari luar negeri langsung ke kota-kota di Indonesia baik melalui udara maupun laut.

Sebagai pasar peredaran narkoba, maka tak salah jika kita menduga bahwa saat ini sudah ada sindikat  peredaran narkoba di Indonesia. Para pengedar narkoba di Indonesia tampaknya telah membangun sistem peringatan jaringan yang tersendiri sehingga memilik komunikasi tertentu yang sukar dikenal maupun orang luar kelompoknya serta menjadikan beberapa kawasan sebagai basis kegiatannya.

Mereka kini telah menjadi sindikat yang refroduktif, artinya setiap pecandu harus terus mencari pecandunya yang baru supaya tidak kehilangan jalur pemberi obat yang dibutuhkan. Tak heran kalau sistem ini melibatkan kalangan atas karena dengan kalangan inilah yang umumnya mampu menciptakan sandi-sandi canggih unutk menjaga jaringannya. Berangkali itupulalah yang menjadikan jaringan menjadi lembaga sehingga amat sukar untuk dipangkas.

Akibatnya, beberapa daerah yang dulunya steril dari peredaran narkoba kini mulai dijadikan pangsa pasar baru. Area peredaran narkoba belakangan ini bukan hanya terkonsentrasi di kota-kota besar, namun telah beredar ke kota-kota kecil lainnya. Beberapa kota yang dahulu dikenal agamis sekarang juga telah dimasuki peredaran narkoba. Disamping itu, 70 persen pengguna narkoba adalah kaum remaja (sebgaian besar berstatus pelajar), yang semakin mudah mendapatkan narkoba antara lain lewat transaksi di sekolah, mall, salon, panti pijat, diskotik, hotel, tempat wisata dan tempat-tempat hiburan lainnya.

Sebagaiman laporan yang terungkap dari Pokja Depdiknas, bahwa untuk memperoleh di lingkungan sekolah saat ini sangat mudah dan harganya juga cukup murah jika dibandingkan waktu sebelumnya. Dulu, dengan uang 30 ribu baru dapat memperoleh ganja, saat ini dengan hanya uang 10 ribu siswa mudah dapat memperoleh barang haram tersebut.

Singkat kata, sindikat bperdaran narkoba telah menyebar secara luas. Mereka telah menjadikan pelajar dan mahasiswa sebagai target pemasaran sekaligus sebagai oknum pengedarannya. Akibatnya angka partisipasi pelajar terhadap penyalahgunaan narkoba kini cukup mencengangkan.

Dari sejumlah penelitian terungkap, setidak-tidaknya ada tiga faktor dominan yang mendoromg seseorang terjerat menjadi pecandu narkoba, yaitu:
         1.             Faktor yang datang dari lingkungan keuarga,
         2.             Suasana keluarga yang mebosankan,
         3.             Keretakan keluarga (broken home),
         4.             Minimnya perhatian dan kasih sayang terhadap terhadap orang tua dan kebiasaan  memanjakan anak.
Adalah sejumlah faktor yang datang dari dalam keluarga yang berpotensi mendorong remaja lari ke narkoba. Logikanya, jika keluarga tak lagi nyaman dan bersahabat sebagai tempat berbagai masalah dan menumpahkan keluh kesah, tentu hal itu akan membuat remaja menjadi gelisah, bimbang, bingin dan marah.

Dalam kondisi psiko-fisis mereka yang masih diliputi suasana tidak pasti dan penih gejolak tentu ketidak harmonisan ayah-ibu akan membawah dilema psikologis baginya. Remaja, di satu pihak ingin melepaskan diri dari pengaruh orang tua, tapi dipihak lain dia belum mampu sepenuhnya berdiri sendiri. Dalam keadaan demikian, jika orang tua tidak bisa bertindak sebagai panutan atau pengayom, maka remaja akan mencari tempat sandaran lain berupa kelompok para remaja.

Upaya Pemberantasannya
Menyadaribahaya penyalahgunaan narkoba itu wajar jika narkoba dinyatakan sebagai salah satu ancaman faktual bagi keberhasilan pembinaan moral bagi generasi muda. Jika ancaman narkoba itu tidak berhasil tertanggulangi, maka hal itu akan menjadi bencana nasional. Sebab akibat yang diderita oleh sesorang yang telah kecanduan norkoba amat berat. Diantara bahayanya adalah, ia akan mengalami degradasi mental yang diperkirakan masa depannya akan gelap dan boleh dikatakan hidupnya tidak berguna lagi. Sementara untuk merawat dan merehabilitasinya seperti sediaka memerulkan biaya yang amat banyak. Apalagi faktanya menunjukkan bahwa sebagian besar para pecandu narkoba sangat potensial untuk kambuh kembali.

Di samping itu, jika peredaran narkoba tidak berhasil diberantas atau stidak-tidaknya dieliminir, bisa-bisa akan menjadi pemicu terjadinya logs generation. Hal ini terjadi karena banyak kader muda potensial yang seharus dapat menjadi tulang punggung bangsa di masa depan terpaksa pupus di tengah jalan akibat terjerat narkoba.


Sebagaimana analisis dari pihak kepolisian, keterlibatan mahasiswa dalam jaringan peredaran narkoba di sinyalir  dilatar belakangi adanya upaya sistematis dari pihak tertentu untuk menghancurkan masa depan bangsa. Logikanya, dengan menghancurkan mahasiswa melalui narkoba,
Dapat dipastikan Indonesia akan tertinggal dalam berkompotisi dengan negara-negara lain.


Sebenarnya, banyak hal yang turut memengaruhi maraknya kejehatan narkoba akhir-akhir ini. Faktor keberanian yang muncul dari pengedar beroperasi sangat tergantung pada kesungguhan maupun keaktifan aparat keaman dalam menjalankan tugasnya, keberanian masyarakat untuk melaporkan tindakaj kejehatan, kondisi tatakota dan sejenisnya. Kekacauan sostem pengamanan kota maupun sikap penakut masyarakat ketika melihat kejehatan, misalnya juteru akan membuka peluang bagi pengedar narkoba di wilayah tersebut.


Di pihak lain, aparat  hukum mulai dari pihak jaksa, ahkim hingga pengacara juga sangat memengaruhi faktor kegagalan pemberantasan narkoba. Berat ringannya hukuman yang akan diterima kalau tentu membentuk keberanian maupun ketakutan para pelakunya. Semakin nyata upaya penegakan dan kepastian hukum dalam menindas tegas para pelakunya dalam memberikan hukumann berat tentu akan meredam nyali orang yang akan mengonsumsi narkoba.


Atas dasar itu untuk mengantisipasi munculnya kasus penyalahgunaan narkoba pada masa mendatang memerlukan kerjasamasinergis antara pihak orang tua, institusi pendidikan, aparat penegak hukum, lingkungan dan generasi muda sendiri sebagai pelaku potensialnya. Orang tua selain memertlukan kebutuhan fisik anak juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan psikologis anak, seperti kasih sayang, perhatian, penghargaan dan rasa aman.


Kondisi-situasi lingkungan juga perlu mendukung pertumbuhan moralitas anak secara sehat dengan disertai pengawasan dan perhatian secara proporsial. Masyarakat hendaknya tidak berdiam diri kalau melihat peraktik penyalahgunaan narkoba di wilayahnya. Ia harus aktif memantau dan melaporkannya ke aparat keamanan bila menjumpai kasus itu.


Institusi pendidikan mulai dari unsur pimpinan, para pendidik maupun karyawannya harus secara berkewajiban untuk membentuk moral anak didiknya serta berupaya menyadarkan anak tentang bahay narkoba. Khususnya bagi guru agama, mereka perlu menanamkan nilai-nilai ke agamaan secara serius kepada anak-anak dan remaja sehingga mereka punya kualitas keagamaan yang baik, mereka akan membentengi diri dari pengaruh buruk lingkungan, dapat menilai baik buruknya perbuatan, dapat membedakan mana kebahagiaan semu dan yang mana kebahagiaan sejati.

Dalam proses penanaman nilai-nilai keagamaan tersebut, anak-anak dan remaja juga perlu disadarkan bahwa kebahagiaan hidup sejati tidak dapat diperoleh lewat triping, fly serta upaya-upaya semua seperti yang ditawarkan narkoba. Narkoba tidak akan menawarkan kebahagiaan apa-apa, malahan kerusakan yang diberikan. Karena itu, agama jelas-jelas melarang kita untuk mencicipi benda-benda syetan ini serta mengajarkan bahwa kebahagiaan hakiki hanya akan diraih jika ia mampu menunjukkan komitmen keagamaannya. Sementara, untuk masyarakat kampus disarankan agar melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan narkoba dengan metode perlawanan mandiri yang dilibatkan seluruh instrumen kampus, termasuk organisasi intra dan ekstra kampus.


Yang tak kalah pentingnya, semua aparat keamanan harus melakukann upaya preventif maupun kuratif terhadap berbagai kasus penyalahgunaan narkoba secara terencana, kontinyu, terpadu dan tuntas sehingga dapat mengurangi kuanritas maupun kualitasnya. Mereka, dengan dibantu anggota masyarakat, membahu memerangi penyalahgunaan narkoba naik secara represif maupun secara reventif.


Disamping itu, penganan terhadap pengguna pengguna narkoba yang tertangkap perlu dilakukan secara intensif. Jangan sampai terjadi setelah seorang memakai narkoba tertangkap dibiarkan begitu saja tanpa diobati dan direhabilitasi. Untuk langkah ini, tampaknya kita perlu belajar dari Singapura dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, para pengguna narkoba yang tertangkap diobati hingga sembuh dengan biaya pemerintah setempat.


















BAB VI
MENGURANGI AKAR PENYEBAB TAWURAN ANTAR PELAJAR
Tawuran antar pelajar agaknya telkah menjadi fenomena rutin yang terjadi pada tiap awal tahun ajaran baru, menjelang akhir pembelajaran atau disela-sela itu. Ibaratnya tawuran antarpelajar menjadi ”kegiatan ekstrakurikuler” pengganti yang sering membuat resah para guru, orang tua, dan anggota masyarakat. Keresahan itu dapat dimaklumi karena tawuran pelajar seringkali menjurus kearah tindakan kriminal yang dapat membawa kerugian materi, fisik, bahkan korban jiwa.
Sebab-sebab Tawuran Pelajar
Sebenarnya, cerita tentang kenakalan remaja sering kita dengar. Rekaman ulah negatif mereka selama ini diwarnai dengan aksi penyalahgunaan narkoba, tawura, peraktik asusila seperti seks peranika, mabuk-mabukan serta aksi pelanggaran moral lainnya. Namun, belakangan muncul fenomena baru kenakalan remaja yang sungguh membuat bulu kuduk kita berdiri karena telah menjurus ke tindakan kriminal kelas tinggi. Dalam setahun belakangan diberitakan banyak pelajar Semarang yang terlibat berbagai tindakan asosial tersebut.
Kita akui, ada beberapa tindakan yang untuk menjelaskan akar penyebab tawuran pelajar. Di antaranya dikemukakan oleh Akar Krimonolog FISIF Universitas Indonesia Prof. Tubagus Roni Niti Baskara, menurutnya, pendekatan individu yang selama ini diterapkan untuk menangani tawuran antar pelajar harus diubah menjadi pendekatan kelompok. Hal ini dikarenakan dari sejumlah penelitian yazng pernah dilakukannya terungkap bahwa perilaku kelompok yang lebih mendominasi perilaku individu pelajar. Anak-anak yang di lungkungan keluarga atau sekolah berperilaku manis dan tidak pernah bermasalah, ternyata tidak sedikit yang terlibat dalam tawuran di jalanan. Itulah sebabnya, banyak orangtua dan guru yang sering tidak percaya ketika anaknya ditangkap polisi atau menjadi korban.
Dengan pendekatan kelompok itu setidaknya ada tiga hal yang dapat dikemukakan sebagai penyebab tawuran, yaitu:
         1.             Rasa bermusuhan yang diwariskan secara turun temurun dari angkatan keangkatan berikutnya. Ini menimbulkan mitos seolah-olah siswa dari sekolah tertentu ada musuh buyutan dari sekolahnya.
         2.             Rasa solidaritas dari kelompok basis (barisan siswa) yang terbentuk karena kedekatan lokasi sekolah atau adanya siswa sekolah yang dianggap musuh bersama. Bisa juga terbentuk basis, karena rute perjalanan yang sama.
         3.             Munculnya rasa tidak aman dari serangan dari serangan yang serung terlibat tawuran atau karena sering menjadi korban pemalakan.
Senada dengan Roni, Dr. Muhammad Mustofa berpendapat bahwa, tawuran antar pelajar terjadi karena ketegangan struktural yang mendorong pelajar merasakan ketidak adilan dan ketidakpuasan. Ketidak adilan dan ketidakpuasan adalah suatu yang maya, maka diciptakanlah musuh yang bersama yang kelihatan jelas. Yang paling mudah adalah sesama pelajar dari kelompok atau sekolah lain. Lebih lanjut dikemukakan Muhammad Mustofa , tak ada hubungan antara budi pekerti dengan kebiasaan tawuran. Anak yang baik-baik dan manis di sekolah, tak menjamin begitu berbaur dengan teman-temannya lantas tak terlibat tawuran.
Jadi, tawuran pelajar termasuk perilaku massa yang tidak ada hubungannya dengan perilaku dan sifat individu pelajar. Pelajar yang sehari-hari yang alim dan rajin belajar bisa menjadi pembunuh bengis dalam tawuran. Kita sering temukan gejala “basis”, yaitu kiumpulan anak sekolah tertentu membentuk kelimoik sangat kohesif, yang selalu merasa terancam serangan sekolah lain. Mereka hanya bisa selamat jika bersatu. Kelompok terbentuk di luar sekolah, khususnya dalam bis atau pemberhentian bus.
Atas dasar itu maka tawuran pelajar bukan suatu perbuatan individual, namun sebagai perilaku kolektif yang dipicu oleh sebagian faktor dari luar. Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor eskternal yang menjadi pemicu tawuran pelajar, yaitu adanya kemiskinan, lingkunan rumah yang padat dan sumpek, kurangnya kendaraan umum serta keadaan yang begitu bervariasi dan heterogen dalam masyarakat yang membuat kondisi menjadi tak menguntungkan dan memunculkan konflik secara tidak wajar.
Juga, adanya perbedaan antara sekolah swasta dan negeri, kejuruan dan umum, unggulan dan bukan ternyata tak menguntungkan sehingga memunculkan konflik. Bagi anak-anak tertentu yang keadaan sekolahnya merasa lebih buruk, bukan sekolah unggulan, hal itu akan dipahami sebagai suatu yang memunculkan rasa yang ketidakadilan.
Mereka terlibat tawuran karena tuntutan solidaritas, gensi, harga diri untuk melawan rasa rendah diri, membela diri, mearasa didahului, merasa ditantang , menerima “warisan” kakak-kakak kelas dan macam-macam lagi. Pandangan yang mengakui kuatnya pengaruh lingkungan terhadap munculnya tawuran pelajar juga telah dijelaskan para sosiolog.


Demikian pula para perilaku sosial menyimpang seperti tawuran akan cenderung dianggap wajar dan normal pada kampung-kampung yang berantakan dan tidak terorganisasi secara baik. Kampung-kampung ini lebih tepat dikategorikan sebagai kawasan kejehatan. Pada kawasan seperti ini, warganya telah berkenalan dengan nilai-nilai kriminal yang sudah tertanam dalam tingkah laku sehari-hari. Apa terjadinya jika para pelajar yang berlatar belakang kehidupan sosial demikian. Tentunya mereka sudah akrab dengan kekerasan, tawuran dan sejenisnya.
Barangkalai sebagaian komunitas pelajar di kota-kota besar sudah ada yang mengembangkan pola hidup terbalik ini. Denganpola hidup terbalik ini, seorang peljar justru membangga-banggakan diri atau kawannyayang telah berhasil mengeroyok atau melikai kelompok pelajar lainnya. Jadi, tindakan kekerasan atau tawuran menjelma sebagain simbol atau identitas kebanggaan sosialnya.
Perilaku sosial yang menyimpan ini juga dapat dijelaskan dengan konsep sosialisasi. Menurut konsep sosialisasi, perilaku seseorang terpengaruh cara dia menghayati niali-nilai atau norma-norma sosial. Dia akan mengalami tindakan menyimpang kalau penhayatan nilai-nilai itu lewat sebagian besar temannya atau kakak kelasnya yang sudah menyimpang, sehingga menyimpang sosial dilakukan pelajar remaja karena mengikuti temannya atau kakak kelasnya. Sebagai akibatnya, jika kakak-kakak dulu suka tawuran maka biasanya hal itu akan menurung pada adik-adik kelasnya. Hal ini terjadi karena anak-anak di kelas rnedah terinspirasi oleh tingkah laku kakaknya. Tampaknya, tindakan siswa kelas atas atau senior merupakan modelling bagi anak-anak yunior.
Sebuah Pelajaran
Peristiwa tawuran pelajar sudah sepatutnya dijadikan pelajaran, sehingga kita mesti bersikap hati-hati dalam menjaga tunas-tunas muda itu. Lantaran kejadiannya berakar pada dimensi sosial budaya, maka dalam menanganinya dibutuhkan keterlibatan institusi sosial secara kolektif, mulai dari institusi keluarga, lingkungan, sekolah, dan aparat kepolisian.
Selain dituntut untuk memenuhi kebutuhan fisik anak orang tua juga dituntut untuk mencukupi segala kebutuhan psikologisnya, seperti kasih sayang, perhatian penghargaan, rasa aman, ksempatan untuk beraktualisasi diri dan lain-lain. Kondisi-kondisi situasi lingkungan juga mendukung petumbuhan mentalitas anak secara sehat lewat pemberian kesempatan berkreativitas dengan disertai pengawasan dan perhatian yang proporsional.

BAB VII
MEMBERI MUATAN EDUKATIF PADA
TAYANGAN TELEVISI NASIONAL

Televisi kini telah menjelma sebagai sahabat yang aktif mengunjungi anak-anak. Bahkan di lingkungan keluarga yang para orang tuanya sibuk bekerja di luar rumah, televisi telah berfungsi ganda, yaitu sebagai penyaji hiburan sekaligus sebagai pengganti orang tua dalam mendampingi keseharian anak-anak. Ironisnya, di tengah-tengah peran vitalnya selaku media hiburan keluarga dunia pertelevisian kini telah mengalami disorientasi dalam ikut pendidikan oleh para penontonnya. Sebagaiman dikemukakan oleh lembaga sensor film (LSF), Ttie Said, dunia prtelevisian kini terancam oleh unsur-unsur vulgarisme, kekerasan dan fornografi (KR, 23/9-2003).

Ketiga unsur itu hampir-hampir sajian rutin disejumlah stasiun televisi serta dapat ditonton secara bebas bahkann oleh kalangan anak-anak. Padahal ketiga unsur tersebut mestinya dicegah agar tidak ditonton anak-anak mengingat kondisi pskologis mereka yang belum mampu untuk membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk atau yang mana yang bersifat negatif atau yang mana yang bersifat positif dari sebuah tanyangan  televisi.

Kiata akui belakangan ini berbagai tanayangan televisi cenderung disajikan secara kurang selektif. Tayangan sinetron televisi, misalnya kini dinominasi oleh kisah-kisah percintaan orang dewasa, banyolan-banyolan konyol ala betawi, intrik-intrik rumah tangga dari keluarga elit, cerita laga dan sejenisnya.

Jika terus-terusan di tonton anak, maka hal itu akan membawa pengaruh kurang sehat bagi mereka. Sementara tayangan film yang khususnya disajikan untuk anak-anak seringkali berisi adegan jorok dan kekerasan yang dapat merusak perkembangan jiwa. Di sisi lain, aneka acara yang sifatnya mrnghibur anak-anak, seperti acara permainan, pentas lagu-lagu dan sejenisnya kurang memperoleh prioritas, atau hanya sedikit jam tanyang.

Masih minimnya komitmen televisi nasional dalam ikut mendidik anak-anak tampaknya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para pemilik pengelola televisi. Orientasi pendidikan perlu menjadi semangat kerja para pemilik dan pengelola televisi, dalam rangka membantu tuga sorang tua, sekolah dan masyarakat dalam mendidik budi pekerti dikalangan anak-anak hal itu perlu ditekankan , terlebih lagi jika mengingat lembaga pendidikan maupun kalangan orang tua akhir-akhir ini semakin kewalahan dalam mebentuk budi pekerti, etos belajar, kedisplinan, nilai-nilai kesopanan dan kreatifitas dikangan anak-anak dan remaja.

Mencegah Dampak Negatif

Munculnya beberapa TV swasta baru, anatara lain metro TV, Lativi dan TV 7, sebenaranya di sambut hangat oleh publuk. Hal ini lantaran piblik merasa memperoleh tambahan berbagai sajian acara baru yang lebih beragam. Booming TV swasta sangat diharapakn untuk memberikan pencerahan budaya sekaligus pencerdasan melalui saluran informasi yang disampaikan secara tajam, objektif dan akurat.

Perang Orang Tua

Untuk membantu anak dalam memanfaatkan tayangan televisi secra positif nampaknya agak sangat membutuhkan peran yang optimal orang tua, terutama dalam mendampingi dan mengontrolnya. Orang tua harus sabar menda[ingi anak-anaknya saat menonton televisi, ahal ini dapat dilakukan oleh orang tua agar anak-anaknya tidak terpolusi oelh “limbah budaya massa” yang terus mengalir lewat teknologi komunikasi yang hanya mempertontongka hiburan sampah seperti tanyangan opera sabun maupun sinetron akhir-akhir ini.
 Maka dari itu, pihak orang tua membimbing anak dengan cara memberikan penjelasan tentang yang mana yang panatas atau layak untuk ditonton dab yang mana yang tidak layak untuk ditonton dengan carah mengarahkan anak sambil meberikan sedikit contoh yang dapat ditimbulkan oleh suatu siaran TV yang bersifat negatif.