BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, manusia memiliki
alat komunikasi dan interaksi yaitu sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga
dapat menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa
merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna dibandingkan dengan
alat komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap
komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran,
gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi
yang baik antar masyarakat.
Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh
oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena
sengaja tidak mau berhubungan dengan
masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur ini akan tetap menjadi masyarakat
tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya,
masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai hubungan dengan masyrakat
tutur lain tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala
peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa
kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah apa
yang di dalam sosiolingistik disebut bilingualisme dan diglosia.
Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak. Sehingga
menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki bahasa yang
berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat Indonesia memiliki dan
menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih dari satu bahasa ini
disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu bahasa
disebut bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu bahasa yang
kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Dalam makalah ini, akan dibicarakan tentang
bilingualisme dan diglosia, serta hubungan atau kaitan antara keduanya.
B.
Rumusan Masalah
Pada pembahasan di atas dapat diidentifikasi rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
definisi dari bilingualisme?
2.
Bagaimana
definisi dari diglosia?
3.
Bagaimana
hubungan dari bilingualisme dan diglosia?
C.
Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas dapat diambil
tujuan masalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari bilingualisme.
2.
Untuk
mengetahui pengertian dari diglosia.
3.
Untuk
mengetahui hubungan dari bilingualisme dan diglosia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia
disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang
dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa
atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan
dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian (Mackey 1992:12, Fishman 1997:73). Untuk dapat menggunakan dua
bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa
ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua adalah
bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat
menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa
Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasawanan).
Konsep umum bilingualisme adalah digunakannya
dua buah bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas kalau
orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah (Dittmer
1976:170):
1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2
(B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai
seorang yang bilingual?
2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dallam
bilingualisme ini?
Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau
sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3. Kapan seorang bilingual mengguankan kedua
bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan
pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat
menggunakan B1-nya atau B2-nya?
4. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya,
atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya?
5. Apakah bilingualisme itu berlaku pada
perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu
kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh
mana penguasaan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik
karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang
bilingual?”
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language
(1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur
untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut
bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya.
Robert Lado (1964:214) mengatakan, bilingualisme adalah kemampuan menggunakan
bahasa oleh seseorang deng sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara
teknik mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi,
penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun
boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual.
Menurut Haugen selanjutnya, seorang bilingual tidak perlu secara aktif
menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen
juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan
sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang
yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan
selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan
sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme
akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya
dengan baik karena bahasi ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2,
dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2
itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini,
maka berarti seorang yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama
baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja.
Pertanyaan kedua, “Apakah yang dimaksud
dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau
bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa,
berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield
bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan
parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12),
bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa
satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa
diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas
yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar
lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa
membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai
dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa
yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan
penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme.
Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang
dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi
bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa
yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari
bahasadalam pengertian langue sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah
bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga, maka hampir semua
anggota nasyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur
yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya
terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan ketiga, “Kapan seorang bilingual
mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara bergantian? Kapan harus
menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia
dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya atau B2-nya?”
Mengenai
pertanyaan ketiga, kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai.
Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara,
dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama
dan terutama dapat digunakaan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama
bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara,
topik pembicaraan, dan seituasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2
tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan seorang penutur bilingual dapat secara
bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak sukar dijawab. Dalam catatan
sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang
dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat
tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan keempat, “sejauhmana B1 seorang
penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat
mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan
menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Penguasaan
B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2,
sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam
keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah
menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik dari pada B2, dan juga kesempatan untuk
mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi
B2-nya. Seberapah jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat
penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual terhadap
B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para
penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan, 1984:32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingula akan
mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada kalau si penutur biligual itu
dalam jangka watu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus
menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan kelima, “apakah bilingualisme itu
terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut
satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam
kaitanya dengan menggunakannya dalam masyarakat tutur biligual. Mackey
(1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gajala bahasa, melainkan
sifat pengguaan bahasa yang diguanakan penutur biligual secara berganti-ganti.
Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan
seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole.
Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu memiliki kelompok atau milik bersama
suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para
penutur, sebab pengguaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur
bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda. Menurut Oksaar
(1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik
kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak terbatas antara individu dan
individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan
sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukan identitas
kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memeberi peluang
untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang
menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang
demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas
meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti
dikatakan Wolf (1974:5) salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua
buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya
peraan tertentu dari kedua bahas itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan
kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan
bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan
lawan bicaranya.
Keadan di dalam masyarakat di mana adanya
pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranaanya masing-masing
menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.
B.
Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie,
yang perna digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu
menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana
dari Stanford University, yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposiun
tenteng “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson
menjadikan lebih terkenal lagi dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia”
yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel Ferguson itu
dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu
bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang
relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama dari satu
bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa
berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
3. Ragam lain itu memiliki ciri:
·
Sudah
terkodifikasi
·
Gramatikalnya
lebih kompleks
·
Merupakan
wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
·
Dipelajari
melalui pendidikan formal
·
Digunakan
terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
·
Tidak
digunaakan dalam percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan
mengetengahkan sembilan topik, yaitu:
1.
Fungsi,
merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalm
masyarakan diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama
disebut dialek tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
2.
Prestise, dalam
masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi,
lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan
dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3.
Warisan
Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai
contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh
masyarakat bahasa tersebut.
4.
Pemerolehan,
ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5.
Standardisasi,
karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan
kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi
formal.
6.
Stabilitas,
kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana
ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat
itu.
7.
Gramatika,
Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalm diglosia merupakan
bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata
terdapat perbedaan.
8.
Leksikon,
sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata
pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada
kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
9.
Fonologi, dalam
bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R.
Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga
jauh.
Pada bagian akhir dari artikel Ferguson
menyatakan bahwa suatu masyarakat digllosis bisa bertahan dalam waktu yang
cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat melunturkannya.
Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan kemampuan keaksaraan dan meluasnya
komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis;
(3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional
sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, rgam mana yang akan dipilih
menjadi bahasa nasional, ragamT atau ragam R. Dalam hal ini ada dua
kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah
yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional
atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar
pada sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosis itu menyatu dengan
masyarakat lain.
C.
Kaitan
Bilingualisme dan Diglosia
Diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan
fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua
bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan
hubungan diglosia dan bilingualisme itu menjadi empat jenis, (1) bilingualisme
dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa
bilingualisme, (4) tidak bilingualisme dan tidak diglosia.
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas
yang paling stabil hanya dua yaitu, (1) diglosia dan bilingualisme, (2)
diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga
perbedaanya adalah terletak pada bilingualismenya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bilingualisme atau kedwibahasaan yakni
berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara umum dalam
sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia digunakan untuk
menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi dari satu bahasa
yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranaan tertentu.
B.
Saran
Dengan membaca makalah ini penulis berharap
agar para pembaca dapat mengambil hikmah sehingga bisa bermanfaat. Dan
tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kelemahan.
Dengan demikian, suatu kegembiraan kiranya jika terdapat banyak kritik dan
saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk perjalanan ke depan
BILINGUALISME
DAN DIGLOSIA
Awal terbentuknya bilingualisme terletak pada keberadaan masyarakat bahasa
yang berarti masyarakat yang menggunakan bahasa yang disepakati sebagai alat
komunikasinya. Dari masyarakat bahasa tersebut akan menjadi sebuah teori baru
mengenai bilingualisme dan monolingual. Monolingual adalah masyarakat bahasa
yang menggunakan satu bahasa. Sedangkan bilingualisme menurut Nababan (1964:27)
kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme diartikan
sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu
masyarakat bahasa. Dengan kata lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih
dalam bilingualisme berlaku secara perorangan dan juga secara kelompok kemasyarakatan.
Penekanan bilingualisme disini terletak pada keadaan atau kondisi serta seorang
penutur atau masyarakat bahasa. Bilingualisme sering juga disebut dengan
kedwibahasaan. Sedangkan menurut Mackey bilingualisme bukanlah fenomena sistem
bahasa melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan bahasa yakni praktik
penggunaan bahasa secara bergantian. Bilingualisme bukan ciri kode melainkan
ciri pengungkapan. Bilingualisme memiliki dua tipe yang pertama bilingualisme
setara yaitu bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan
bahasa secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses
berfikir. Tipe yang kedua yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini
terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama.
Sering terjadi kerancuan dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan
interferensi. Interferensi disini ialah masuknya suatu bahasa kedalam bahasa
yang lain. Faktor penentu yang menyebabkan bilingualisme ialah bahasa yang
digunakan, bidang penggunaan bahasa, dan mitra berbahasa.
Diglosia menurut Ferguson yakni fenomena penggunaan ragam
bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya. Memiliki tipe rendah dan tinggi,
tipe tinggi biasanya berhubungan dengan agama, pendidikan , dan aspek budaya
yang tinggi sedangkan ragam rendah digunakan di rumah, pabrik dan sebagainya.
Berbeda dengan Ferguson, Fishman beranalisa bahwa diglosia mengacu pada
penggunaan bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda.diglosia dapat
dipilah menjadi dua profil yakni diglosia pada masyarakat monolingual yang
berasumsi fenomena pemilihan ragam bahasa seperti dialek dan register, dan
diglosia pada masyarakat bilingual yaitu fenomena pemilihan dan penggunaan
salah satu masyarakat bahasa sesuai dengan fungsinya. Landasan dalam diglosia
ini ialah pertimbangan fungsi bahasa dalam menentukan pilihan bahasa diantara
dua bahasa atau lebiih, bukan kebiasaan dan kemampuan menggunakan dua bahasa.
Situasi diglosia di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu situasi pilihan bahasa
dan situasi penggunaan varian bahasa. Situasi pilihan bahasa disini
membandingakan kedudukan yang tinggi dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Bahasa tinggi dan bahasa rendah ditentukan oleh konteks dan situasi kebutuhan
alat komunikasi yang dikaitkan dengan fungsi bahasa pilihan.
Ada empat tipe hubungan antara diglosia dengan
bilingualisme. (1) bilingualisme dengan diglosia, pada tipe itu dua fenomena
penggunaan bahasa terjadi. Memiliki ciri yakni anggota masyarakat mengetahui
situasi yang meuntut penggunaan bahasa, baik dalam kaitannya dengan bahasa yang
dipilih sesuai dengan fungsinya maupun dalam kaitannya dengan bahasa yang
dipilih sesuai dengan gengsi bahasa dan varian. (2) bilingualisme tanpa
diglosia, memiliki ciri bahwa setiap bahasa memiliki peluang untuk digunakan
tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan
fungsi sosial karena fungsi sosial bahasa pada tipe ini tidak kuat. (3)
diglosia tanpa bilingualisme, tipe ini memiliki sebuah asumsi bahwa diantara
penutur kelompok elite dan masyarakat tidak pernah terjadi interaksi dalam arti
menggunakan bahasa yang dipilih. Mereka berinteraksi melalui penterjemah atau
interpreter. (4) tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme tipe ini mengandalkan
kemungkinan adanya masyarakat kecil, anggotanya sangat terbatas, sangat
terpencil, dan egalitarian yang hanya memiliki satu bahasa dan satu ragam
bahasa, serta tidak asa perbedaan peran yang dimainkan oleh gaya-gaya yang
terdapat dalam bahasa itu.
MULTILINGUAL, BILINGUAL, DAN DIGLOSIA
Endang Sri Maruti
(117835041)
Danar Takdir Prayogi (117835430)
A. Pendahuluan
Selintas, sosiolinguistik bisa menjadi sebuah bidang studi karena adanya
pilihan dalam pemakaian bahasa. Bidang ilmu ini lebih dipusatkan pada
kemungkinan adanya pilihan yang bisa dibuat di dalam masyarakat mengenai
penggunaan varietas bahasa. Lalu munculah istilah bilingualisme ‘kedwibahasaan’
maupun multilingualisme kemasyarakatan (societal multilingualism) yang mengacu
pada kenyataan bahwa dalam sebuah masyarakat bisa terdapat banyak pilihan
bahasa. Terakhir, diglosia bisa muncul karena adanya variasi Tinggi (=T atau H
‘High’) dan Rendah (=R atau L’Low’).
Dalam bab ini, akan mengaji apa itu bilingualisme, multilingualisme, dan
diglosia melalui pendekatan sosiolinguistik.
B. Kajian Teori
Dalam sub-bab ini akan dijelaskan beberapa teori tentang bilingualisme,
multilingualisme, dan terakhir diglosia. Berikut penjelasannya.
1. Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia
disebut juga kedwibahasaan. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya
seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau
bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang
menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif.
Kerelativitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual
bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula
bilingualisme diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama
baiknya oleh seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer
karena kriteria untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan
bahasa sama baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampir-hampir
tidak dapat dilakukan (Suwito, 1983:40).
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan
(Chaer, 2004:84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer tersebut, dapat
dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua
bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau
bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda, dkk., 2007:23), ia
menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two
language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian.
Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut
Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan
kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti
halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua
tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal
bahasa tersebut.
Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut
Bloomfield (Chaer, 2004:85) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native
like control of two languages. Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti
mampu menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut
tidak disetujui atau masih banyak dipertanyakan karena syarat dari native like
control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakakn dalam setiap
keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang
digunakan penuturnya.
Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer,
2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat
awal (incipient bilingualism). Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini
‘…yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama oleh anak-anak
yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini
bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat rendah’.
Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang
banyak digunakan oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada
tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari
hampir selalu melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun,
kebanyakan orang pada masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang
digunakannya dengan tepat.
Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya bilingualisme
adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang sama baik atau hampir sama
baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana
pun tingkatnya. Pendapat Lado tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold
tentangincipient bilingualisme, karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana
Bloomfiled bahwa penguasaan seseorang yang menganut bilingualisme terhadap
bahasa keduanya harus sama dengan bahasa pertama yang digunakan.
Selanjutnya, Mackey dan Fishman (Chaer, 2004:87), menyatakan dengan tegas
bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari
bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Menurut Mackey dan
Fishman, dalam membicarakan kedwibahasan tercakup beberapa pengertian, seperti
masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode,
interferensi, dan integrasi. Pengertian bilingualisme menurut Mackey dan
Fishman inilah yang dirasa sangat relevan bagi penulis.
Dari beberapa pengertian bilingualisme oleh beberapa ahli di atas, konsep
umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa secara bergantian oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Hal ini tentunya akan
menimbulkan sejumlah masalah. Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah
sebagai berikut lengkap beserta penjelasannya.
a. Taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat
dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang
bilingual. Bilingualisme merupakan satu rentangn berjenjang mulai menguasai B1,
kemudian tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang
meningkat, sampai menguasai B2 sama baiknya dengan B1.
b. Pengertian bahasa di dalam bilingualisme itu sangat
luas, dari bahasa dalam pengertian langue, seperti bahasa Jawa dan bahasa
Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa
dialek Surabaya dan bahasa Jawa dialek Banyumas.
c. Waktu yang tepat untuk menggunakan B1 dan harus
menggunakan B2 bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi
sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas.
d. B1 seorang bilingualis bisa mempengaruhi B2-nya atau juga
sebaliknya. Masalah ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan bahasa itu dan
kesempatan untuk menggunakannya.
e. Bilingualisme bisa terjadi pada individu dan juga pada
kelompok.
2. Multilingualimse
Istilah “bilingualisme” (kedwibahasaan) sering dianggap sama dengan istilah
“multilingualisme” (kemultibahasaan), yaitu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu,
kelompok, atau masyarakat (regional, nasional, bangsa, dan negara).
Multilingualisme lebih merujuk pada penggambaran seorang penutur yang
menguasai lebih dari dua bahasa, bisa tiga bahasa, atau empat, bahkan lima
bahasa sekaligus. Penggunaanya hampir sama dengan bilingualisme, yakni tahu
kapan dan di mana suatu bahasa akan digunakan. Misalnya saja orang Jawa, selain
mampu berbahasa Jawa (sebagai bahasa ibunya), juga mampu berbahasa Indonesia
sebagai B2, dan bahasa Inggris sebagai B3, bahkan ada beberapa yang bisa bahasa
Jepang, Belanda, dan sebagainya.
3. Diglosia
Permasalahan mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan
perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa
Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa
daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa daerah
disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama, sementara penggunaan bahasa
Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua. Penggunaan bahasa yang
seperti itu disebut sebagai diglosia (Aslinda, dkk., 2007:26).
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan
oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam
studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford
University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang
“Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih
terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul
“diglosia”.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masyarakat di mana terdapat du variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan
dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh
Ferguson dengan mengetangahkan sembilan topic, yakni sebagai berikut.
1) Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam
masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama
disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut
dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).
2) Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis.
Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3) Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat
kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat
bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan
ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya
sastra harus dalam ragam T. Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini
(setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap
berakar, baik di negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani, bahasa Prancis,
dan bahasa Jerman.
4) Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5) Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan
kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi
formal.
6) Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama,
dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam
masyarakat itu.
7) Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi
subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artivisial.
8) Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata
pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9) Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktural antara ragam T dan ragam R.
Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pengertian diglosia boleh dikatakan sama dengan bilingualisme, tetapi
diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur,
yakni terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Berkenaan dengan
hal di atas, Ferguson (Alwasilah, 1990:136) memberikan batasan diglosia seperti
di bawah ini.
Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain
dari dialek-dialek utama suatu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku
atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat
terkodifikasikan (sering kali secara gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi,
sebagai wahana dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan
dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain,
yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam
tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian
masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa.
Dari penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia
adalah persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam
suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing ragamnya mempunyai
peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung
kepada situasi.
Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono (2007:39), pengertian diglosia
seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Lalu
Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas.
Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada
pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai
tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada
perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya
dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda.
Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu
mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.
Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di sebuah kota besar di Indonesia terdapat
beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa
Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa
Indonesia dan masing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah
membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah
kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia
membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah
persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam
rapat), dan dalam ranah keagamaan (khotbah).
Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi
masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam
situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah,
siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam
bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan
sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau
dalam sastra rakyat.
Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam
beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura,
yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk
basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam
bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa
loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes
(ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama
(tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku
masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
Pakar sosiologi, Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi
apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad
diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua
dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu.
Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada
diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut
Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia,
double-nested diglosia, dan linear polyglosia (Chaer, 2004:98).
Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan
fungsi bahasa secara berganda. Misalnya saja dalam masyarakat Indonesia, pada
suatu siuasi, bahasa Indonesia adalah bahasa T, dan yang menjadi bahasa R-nya
adalah bahasa daerah. Pada situasi lain bahasa Indonesia menjadi bahasa R, dan
bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Indonesia mempunyai status
ganda.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, di
mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan, satu sebagai bahasa T, dan yang
lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa R maupun T masing-masing mempunyai
ragam atau dialek yang juga diberi status R atau T. Contohnya, bahasa Jawa
dianggap sebagai bahasa R dan bahasa T-nya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa
sebagai bahasa T mempunyai ragam bahasa seperti basa krama yang diberi status
ragam T dan basa ngoko yang berstatus R. Dalam bahasa Indonesia juga seperti
itu, ragam baku dianggap T, dan ragam non-baku dianggap ragam R.
Linear polyglosia adalah situasi kebahasaan yang pembedaan kederajatannya
tidak menggunakan model biner, tetapi berdasarkan sikap penutur. Misalnya saja,
masyarakat Cina di Indonesia. Berdasarkan sikap orang Cina yang terdidik,
bahasa Indonesia dianggap bahasa T, bahasa Mandarin dianggap bahasa DH (dummy
high) yang berarti walaupun termasuk ragam T, tetapi penggunaanya terbatas, dan
bahasa Daerah termasuk ragam R.
C. Analisis dan Pembahasan
Dalam analisis serta pembahasan, akan diberikan contoh tentang hubungan
antara bilingualisme dan diglosia. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa
kedwibahasaan dan diglosia berhubungan dengan penguasaan dua bahasa atau lebih
dalam masyarakat, berikut ini dikemukakan hubungan keduanya berdasarkan Fishman
(1977).
1. Bilingualisme dan Diglosia
Masyarakat bilingual dan diglosis yaitu masyarakat yang menguasai dua
bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa
mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa
intrakelompok. Seperti dalam data di bawah ini.
(1) Sabar, pertanyaan Panjenengan pasti terjawab semua!
Dalam kalimat tersebut penutur mengetahui ragam dan fungsinya dengan baik.
Kata panjenengan termasuk ragam bahasa Jawa T dan digunakan untuk menghormati
orang yang lebih tua maupun yang lebih tinggi kedudukannya.
Contoh lain misalnya, seorang artis yang sedang melakukan wawancara, sering
menggunakan bilingualisme dan juga diglosia. Faktor diglosia lebih pada hal
prestise.
(2) Saya berencana akan go international tahun ini.
Go international menunjukkan prestise seorang artis yang menganggap bahwa
bahasa Inggris adalah bahasa T, dan bahasa Indonesia adalah bahasa R-nya. Selain
contoh di atas, orang Madura yang berkomunikasi dengan orang Jawa sering
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dengan menggunakan logat Madura.
Seperti pada data berikut.
(3) Sampeyan mau beli sate berapa tusuk?
Kata sampeyan dalam bahasa Madura dan bahasa Jawa fungsinya sama, yaitu
untuk komunikasi dengan orang yang tidak dikenal, maupun orang yang lebih muda
tetapi tetap disegani. Hal ini sudah termasuk pada diglosia, dan untuk
mendukung ke-diglosia-nya ini, penutur mengucapkan tuturan tersebut dengan
logat Madura. Selanjutnya penutur menggunakan bahasa Indonesia yang menunjukkan
ke-bilingual-nya.
2. Bilingualisme tanpa Diglosia
Masyarakat bilingual tetapi takdiglosis yaitu masyarakat yang menguasai dua
bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, dengan masing-masing bahasa
memiliki peranan yang sama. Hal ini terlihat pada data di bawah ini.
(4) Jangan nesu-nesu gitu ta ya ya!