BAB I
TELAAH
TENTANG KONSEP, PENDEKATAN
DAN OUTPUT
PENDDIKAN
BUDI PEKERTI
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas
dan kualitas pelaksanaan pendidikan Budi Pekerti pada lembaga pendidikan
formal. Tuntutan tersebut muncul dilatar belakangi oleh dua kondisi. Pertama,
bangsa indonesia saat ini seprtinya telah kehilangan karakter yang telah
dibangun berabad-abad. Keramahan, tenggang rasa, kesopanan, rendah hati, suka
menolong, solidaritas sosial, dan sebagainya yang merupakan jati diri bangsa
seolah-olah hilang begitu saja. Keadaan ini sudah menggunggah kedaran
bersama terhadap perlunya memperkuat
kembali dimensi moralitas bangsa kita.
Kedua, kondisi lingkungan sosial kita belkangan ini
diwarnai oleh maraknya tindakan barbarisme, vandalisme baik fisik maupun
non-fisik, adanya model-model KKN baru, hilangnya keteladanan pemimpin, sering
tejadi pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran
universal, larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara. Dapat dikatakan,
krisis moral yang menimpa bangsa semakin menjadi-jadi yang ditandai dengan
maraknya tindak asusila, kekerasan, pembunuhan, perjudian, pornografi,
meningkatnya kasusu kenakalan remaja, jumlah pecandu narkoba dan
minuman-minuman keras serta menjalarnya penyakit sosial lain yang makin kronis.
Akibatnya, tingkat kenyamanan dan keamanan warga masyarakat yang tinggal di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabya, Semarang dan Medan sudah merosot
tajam dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Menurut pengamat sosial, terjadinya krisi sosial seperti
sekarang sebagian bersumber dari kesalahan lembaga pendidikan nasional yang
dianggap belum optimal dalam membentuk kepribadian peserta didik. Lembaga
pendidikan kita dinilai menerapkan paradikma partialistik karena memberikan
porsi sangat besar untuk transmisi pengetahuan, namun melupakan pengembangan
sikap, nilai, dan perilaku dalam pembelajarannya. Dimensi sikap juga tidak
menjadi komponen penting dari proses evaluasi pendidikan. Hal demikian terjadi
karena model penilaian yang berlaku untuk beberapa mata pelajaran yang
berkaitan dengan pendidikan nilai selama ini hanya mengukur kemampuan kognitif
peserta didik.
Orientasi pendidikan nasional yang cenderung melupakan
pengembangan dimensi nilai (affective
domein) telah merugikan peserta didik secara individual maupun kolektif.
Tendensi yang muncul adalah, peserta didik akan mengetahui banyak tentang
sesuatu, namun ia menjadi kuarang memiliki sistem nilai, sikap, minat maupun
apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahui. Anak akan mengalami
perkembangan dengan kematangan kepribadian
sehingga melahirkan sosok spesialis yang kurang peduli dengan lingkungan
sekitarnya dan rentang mengalami distorsi nilai. Sebagai dampaknya, peserta
didik akan mudah tergelincir dalam praktik pelanggaran moral karena sisitem
nilai yang seharusnya menjadi standar dan patokan berperilaku sehari-hari belum
begitu kokoh.
Bercermin kepada keterbatasan upaya lembaga pendidikan
dalam membekali nilai-nilai moral peserta didik selama ini telah mengilhami
munculnya komitmen dari sejumlah kalangan untuk memberikan pendidikan budi
pekerti secara terpisah dari beberapa mata pelajaran yang sudah ada. Atau,
setidak-tidaknya melakukan penambahan porsi materi pendidikan budi pekerti pada
mata pelajaran Agama dan PPKn.
Diasumsikan, dengan memperkaya dimensi nilai, moral dan
norma pada aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberi pegangan hidup yang
kokoh bagi anak-anak dalam mengahadapi perubahan sosial. Kematangan secara
moral (morally mature) akan menjdikan
seorang anak mampu memperjelas dan menentukan sikap terhadap subtansi nilai dan
norma baru yang muncul dalam proses perubahan. Demikian pula, dengan bekal
pendidikan budi pekerti secara memadai, akan memperkuat konstruksi moralitas
peserta didik sehingga mereka tidak gampang goyah dalam menghadapi aneka macam
godaan dan rayuan negatif di luar sekolah.
I.
Konsepsi Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi
pekerti memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral, pendidkan karakter,
pendidikan ahklak dan pendidikan nila. Pendidikan budi pekerti merupakan
pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat istiadat dan
budayabangsa indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik
supaya menjadi manusia yang baik. Secara umum, ruang lingkup pendidikan budi
pekerti adalah penanaman dan pengembangan nilai,sikap dan perilaku peserta
didik sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Diantara nilai-nilai yang perlu
ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman
dan bertaqwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa,
jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang
lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah
hati, sabar, semangat, kebersamaan, setia, seportif, taat azas, takut bersalah,
tawakal, tegas tekun, tepat janji, terbuka dan ulet. Jika peserta didik telah
memiliki karakter dengan seperangkat nilai-nilai budi pekerti di atas, diyakini
ia telah menjadi manusia “baik”.
Jika decermati,
sebenarnya ada dua aspek menjadi orientasi pendidikan budi pekerti. Pertama,
membimbing hati nurani peserta didik agar berkembang lebih positif secara
bertahap dan berkesinambungan. Hasil yng diharapkan, hati nurani peserta didk
akan mengalami perubahan dari yang semila bersifat egoisentris menjadi altruis.
Kedua, memupuk, mengembangkan, menanamkan nilai-nilai dan sifat positifke dalam
pribadi peserta didik. Seiring dengan itu, pendidikan budi pekerti juga
mengikis dan menjauhkan peserta didik dari sifat-sifat dan nilai-nilai buruk.
Hasil yang diharapkan, ia akan mengalami proses transpormasi nilai, transaksi
nilai, dan transinternalisasi (proses pengorganisasian dan pembiasaan
nilai-nilai kebaikan menjadi kepercayaan/keimanan yang mempribadi).
Atas dasar ini, dapat
dipahami bahwa titik tekan pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan
potensi-potensi kreatif subjek didik agar menjadi manusia dan baik menurut
pandangan Tuhan. Persoalan manusia “Baik” merupakan persoalan nilai karena menyangkut
penghayatan dan pemaknaan yang bersifat afektif ketimbang kognitif. Seseorang
akan melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tergantung pada sistem
nilai yang di pegangnya. Sistem nilai di sini menjadi preference (pilihan) dari perilaku seseorang yangb menjadi ukuran
kepatutan atau kepantasan. Atau dalam ungkapan Rogres, nilai (value)
sebagai: Tendency of nay living beings to
show preference, in their actions, for one kind of object or objectives rather
than another.”
Jadi, orientasi
pendidikan moral yakni pengikatan diri dengan nilai-nila, harus terjadi secara
sukarela, harus tumbuh dari dalam dan bukan karena ancaman atau ketakuatan akan
sesuatu. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sebagian besar warganya masih
bersikap konformis, pendidikan moral selayaknya memuat unsur atau aspek
permurnian motivasi atu intensi. Pada tahap pertama, para peserta didik
didasarkan dan diyakinkan bahwa suatu perbuatan dianggap baik secara moral bila
didasarkan pada motivasi atau intensi batiniah yang luhur. Kemudian pada tahap
kedua, mereka perlu dilatih secara teratur dan berkesinambungan sehingga
terbiasa atau selalu sepontan memurnikan motivasi atau intensi dari setiap
tindakan mereka.
Dalam tinjauan lain,
pendidkan budi pekerti juga memiliki kesamaan misi dengan pendidikan karakter,
meskipun pendidikan karakter memiliki kompleksitas tugas yang lebih berat
dibandingkan dengan pendidikan budi pekerti. Tugas pendidikan karakter mana
nilai-nilai kebaikan dan mana nilai-nilai keburukan, dan justru ditekankan adalah
langkah-langkah penanaman kebiasaan (habituation)
terhadap hal-hal yang baik. Hasilnya, peserta didik diharapkan mempunyai
pemhaman tentang yang mana nilai-nilai kebaikan dan yang mana nilai-nilai
keburukan, mampu merasakan nilai-nilai yang baik dan mau melakukannya. Hal ini
relevan dengan ungkapan Aristotle, karakter itu erat kaitanya dengan “habit”
atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.
Menurut Lickona
(1992), pendidikan karakter yang benar harus melibatkan aspek ”knowing the good ” (moral knowing), “desiring the good” atau “loving the good” “moral feeling” dan “acting the good”(moral action).
Sebab tanpa melibatkan ketiga aspek tersebut manusia sama seperti robot yang
terindoktrinasi oleh suatu paham. Oleh karena itu, pendidikan karakter dituntut
memberika perhatian terhadap tiga karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action ataun perbuatan bermoral.
Penanaman moral knowing pada konteks ini meliputi: moral
awereness (kesadaran moral), knowing moral vanues (pengetahuan
nilai-nilai moral), perspektive taking (menggunakan
sudut pandang moral), moral reasoning (alasan
moral), decision masing (mengambil
keputusan moral), dan self-now-ledge
(pengetahuan diri). Sayangnya, perhatian yang diberikan oleh dunia pendidikan
nasional terhadap dimensi pendidikan afektif masih kurang atau boleh dibilang
masih terbengkalai aibat orientasi pendidikan kita yang lebih condong ke cognitive oriented. Kebanyakan praktisi
pendidikan kita masih beranggapan, jika aspek kognitif masih dikembangkan
secara benar, maka aspek afektif akan ikut berkembang secara positif. Asumsi
ini sungguh merupakan kekeliruan yang cukup serius.
Hal ini mengingat
pengembangan kawasan afektif pada sistem pendidikan juga memerlukan kondisi
yang kondusif. Artinya kita perlu dengan sengaja membuat desain atau rancangan
pembelajaran budi pekerti secara benar. Sebagaimna hasil penelitian Jacob (1957) yang dikutip oleh krathwol dan Bloom yang menyatakan, “fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa
perilaku afektif berkembang ketika pengalaman pembelajaran yang cocok diberikan
bagi para peserta didik sama banyaknya dengan perkembangan prilaku kognitif
yang mendapatkan pengalaman pembelajaran yang cocok”.
II.
Model dan Pendekatan Penanaman Nilai Budi Pekerti
Secara teoritis,
keberhasilan proses pendidikan budi pekerti antara lain dipengaruhi oleh
ketepatan seorang guru dalam memilih dan mengaplikasikan metode-metode penanaman
nilai-nilai budi pekerti. Pendidikan budi pekerti di era modern sudah tidak
memadai lagi jika hanya mengajarkan metode pembelajaran tradisional yang
cenderung didasari asumsi bahwa peserta didik memiliki kebutuhan yang sama,
belajar dengan cara yang sama dan pada waktu yang sama, dalam ruang kelas yang
tenang, dengan materi pelajaran yang terstruktur secara ketat dan didominasi
oleh guru. Metode pembelajaran tradisional tersebut dinilai tidak mampuh
mencapai tujuan pendidikan karena kurang mengakomodir kelangsungan pengalaman
peserta didik yang diperoleh dalam kehidupan keluarganya. Padahal, peserta
didik, pada usia sekolah dasar, masih mendambakan berlangsungnya pengalaman di
lingkungan keluarga dapat dialami pula di sekolah. Pengalaman anak yang masih bersifat
global tentu menuntut penerapan model pembelajaran yang relevan dengan
karakteristik mereka.
Menurut penulis,
proses pennaman nilai-nilai budi pekerti yang dianggap cocok untuk anak-anak
adalah model pembelajaran yang didasarakan pada interaksi sosial (model
interaksi) dan transaksi. Model pembelajaran interaksional ini dilaksanakan
berdasarkan dari prinsip-prinsip, yaitu:
a)
Melibatkan peserta
didik secara aktif dalam belajar,
b)
Mendasarkan pada
perbedaan individu,
c)
Mengaitkan teori
dengan praktik,
d)
Mengembangkan
komunikasi dan kerjasama dalam belajar,
e)
Meningkatkatkan
keberanian peserta didik dalam mengambil risiko dan belajar dari ksealahan,
f)
Meningkatkan
pembelajaran sambil berbuat dan bermain, dan
g)
Menyesuaikan
pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif yang masih pada taraf operasi
konkret.
Disamping itu, dalam penyajian pokok-pokok bahasan
tentang moral diberikan pada anak-anak berdasarkan prinsip-prinsip, yaitu:
a)
Dari yang mudah ke
yang sukar,
b)
Dari sederhana ke
yang rumit,
c)
Dari bersifat konkret
ke yang abstrak,
d)
Menekankang pada
lingkungan ke yang paling dekat dengan anak samapai pada lingkungan
kemasyarakatan yang lebih luas.
Efektifitas proses
penanaman nilai-nilai budi pekerti agaknya sangat dipengaruhi oleh ketepatan
pendekatan yang dipilih guru dalam mengajar materi tersebut. Pada konteks ini,
setidak-tidaknya ada delapan pendekatan yang dapat digunakan dalam mengajarkan
pendidikan budi pekerti, yaitu:
a)
Evocation adalah
pendekatan yang memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada peserta didik
untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang
diterima.
b)
Inculcation
adalah
pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondidsi
siap.
c)
Moral
reasoning
adalah pendekatan agar terjadi teransaksi intelektual taksonomik tinggi dalam
mencari pemecahan dalam suatu masalah.
d)
Value
clarification adalah pendekatan melalui stimulus terarah agar peserta
didik diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral.
e)
Value
anlysis adalah
pendekata agar peserta didik dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral.
f)
Moral
awareness
adalah pendekatan agar peserta didik menerima stimulus dan dibangkitkan
kesadaranya akan nilai tertentu.
g)
Commitment
approach adalah
pendekatan agar peserta didik sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola
pikir dalam suatu proses pendidikan nilai.
h)
Union
approach adalah
pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil
nilai-nilai budi pekerti dalam suatu kehidupan.
Dengan ungkapan lain,
seorang guru pendidikan budi pekerti dituntut untuk menggunakan satu model
pembelajaran jika ia menginginkan proses penanaman nilai-nilai moralitas kepada
peserta didik berjalan secara optimal. Model pada tulisan ini yang dimaksud
ialah sebuah bentuk konstruksi yang dapat berwujud konsep atau maket yang
menggambarkan secara lengkap sebuah pemikiran atau gambaran bentuk fisik sebuah
benda dalam skala yang lebih kecil. Menurut Superka,
pendekatan nilai dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
a)
Pendekatan penanaman
nilai (inculcation approach),
b)
Pendekatan
perkembangan moral kognitif (cognitive
moral development approach),
c)
pendekatan analisi
nilai (value analysis approach),
d)
Pendekatan
klarifikasi nilai (value clarification
approach), dan
e)
Pendekatan
pembelajaran berbuat (action lerning
approach).
A.
Pendekatan penanaman Nilai
Pendekatan penanaman
nilai (inculcation approach) adalah
suatu pendekatan yang memberikan penekanan pada penanaman niali-nilai sosial dalam
diri peserta didik. Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan kepada peserta didik
karena nilai-nilai sosial berfungsi sebagai acuan bertingkah laku dalam
berinteraksi antara sesama sehingga kebenarannya dapat diterima di masyarakat.
Sebagaimana dirumuskan Raven, bahwa
nilai-nilai sosial merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai
suatu kebenaran dan dijadikan standar bertingkah laku guna
mendapatkan/memperoleh masyarakat yang demokratis dan harmonis.
Nilai-nilai sosial
perlu menjadi materi pendidikan budi pekerti karena menjadi fondasi penting
bagi pembangunan bangsa. Nilai-nilai sosial memberikan podoman bagi warga
masyarakat untuk hidup berkasih sayang antara sesama manusia, hidup harmonis,
hidup disiplin, hidup berdemokrasi dan hidup bertanggung jawab. Sebaliknya
tanpa nilai-nilai sosial, suatu masyarakat atau negara tidak akan
mendapatkan/memperoleh kehidupan yang harmonis dan demokratis. Dengan demikian,
nilai-nilai sosial tersebut mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi
masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai sosial terdiri atas beberapa sub
nilai, yaitu:
1.
Loves (kasih
sayang) yang terdidri atas pengabdian, tolong menolong, kekeluargaan,
kesetiaan, dan kepedulian.
2.
Resposibility
(tanggung
jawab) yang terdiri atas nilai rasa memiliki, disiplin dan empati.
3.
Life
harmony
(keserasian hidup) yang terdiri atas nilai keadilan, toleransi, kerjasama, dan
demokrasi.
Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai menurut
pendekatan penanaman nilai ada dua. Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial
tertentu oleh pesrta didik. Kedua, berubahnya nilai-nilai peserta didik yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metode yang digunakan
dalam proses pembelajaran dengan pendekatan penanaman nilai antara lain:
keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan dan
lain-lain. Jika dicermati pendekatan penanaman nilai sebenarnya merupakan
pendekatan tradisional.
Banyak kritik literatur Barat yang ditujukan pada
pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya bsendiri
secara bebas. Menurut Raths et all,
kehidupan manusia dibedakan karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat
meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurutnya,
setiap generasi berhak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang
perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melaikan proses, supaya
mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan
zamannya.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam
pendidikan Barat yang menjungjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun
demikian, disadari atau tidak, pendekatan ini digunakan secara meluas
diberbagai masyarakat, terutama penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya. Pada penganut agama memiliki kecendrungan kuat untuk menggunakan
pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi
penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran kebenarannya bersifat mutlak.
Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses
pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut.
Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-bats kebenaran dalam ajaran agama
sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek
kehidupan harus diajarkan, diterima, fan diyakini kebenarannya oleh
pemeluk-pemeluknya. Keiman merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
B.
Pendekatan Perkembangan Kognitif
Ia dikatakan
perkembangan kognitif karakteristiknya memberikan penekanan pada spek-aspek
kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendonrong peserta didik untuk
berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat
keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat
sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral dari,
tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin
dicapai dari pendekatan ini ada dua hal yang utama, yaitu:
1.
Membantu peserta
didik dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan nilai
yang lebih tinggi.
2.
Mendorong peserta
didik dalam mendiskusikan alasan-alasannya dalam memilih nilai dan
posisinyadalam suatu masalah moral.
Proses pengajaran
nilai, menurut pendekatan ini, didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan
metode diskusi kelompok. Diskusi ini dilaksanakan dengan memberikan perhatian
pada tiga kondisi penting, yaitu:
1.
Mendorong peserta
didik dalam menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi.
2.
Adanya dilema, baik
dilema hipotetikal maupun dilema faktual
berhubungan dalam nilai kehidupan seharian.
3.
Susana yang dapat
mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik.
Proses diskusi
dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut,
peserta didik didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan
oleh orang yang terlibat dan apa alasan-alasannya. Peserta didik melakukan
seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif yang diajukan dan
selanjutnya mengorganisasikan nilai-nilai terpilih tersebut.
C.
Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis
nilai, memberikan penekanan pada perkembangan ke,mampuan pesrta didik untuk
berfikir logis, dengan cara menganilisis masalah yang berhubungan dengan
nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif,
salah satu perbedaan anatara keduanya bahwa pendekatan analisis bahwa lebih
menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial.
Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral
yang bersifat perseorangan.
Ada dua tujuan utama
pendidikan moral menurut pendekatan ini, ialah:
1.
Membantu peserta
didik untuk menggunakan kemampuan berfikir logis dan penemuan ilmiah dalam
menganalisis masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan nilai moral
tertentu.
2.
Membantu peseta didik
untuk menggunakan proses berfikir rasional dan analitik, dalam
menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.
Selanjutnya, metode pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran
seacara individu atau kelompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai
moral, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan atas pemikiran
rasional.
Ada enam langkah
analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan
nilai menurut pendekatan ini. Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar
dengan enam tugas penyelesaian maslah berhubungan dengan nilai. Enam langkah
dan tugas tersebut sebagai berikut:
Langkah analisis nilai:
|
Tugas
penyelesaian maslah:
|
1.
Mengindentifikasi
dan menjelaskan nilai yang terkait
|
1.
Mengurangi
perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait.
|
2.
Mengumpulkan fakta
yang berhubungan.
|
2.
Mengurangi
perbedaan penafsiran tentang nilai
yang terkait.
|
3.
Menguju kebenaran
fakta yang berkaiatan.
|
3.
Mengurangi
perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
|
4.
Menjelaskan kaitan
antara fakta yang bersangkutan.
|
4.
Mengurangi
perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.
|
5.
Merumuskan
keputusan moral sementara.
|
5.
Mengurangi
perbedaan dalam runusan keputusan sementara.
|
6.
Menguju prinsip
moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan
|
6.
Mengurangi
perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
|
Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan
dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif.
Selain itu, seperti dalam rumusan prosedur analisi nilai dalam penyelesaian
maslah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam
pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai
yang ditawarkan serta tujuan dan metode pengajaran yang digunakan. Pendekatan
ini juga dinilai sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif
serta perilaku. Dari perspektif yang lain, pendekatan ini sama dengan pendekatan
perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi
penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.
D.
Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan
klarifikasi nilai, memberi penekanan pada usaha membantu peseta didik dalam
mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka
sendiri. Pendekatan ini dinilai efektif untuk pendidikan di alam demokrasi.
Seperti diakui Harmin, Kirschenbaum dan Simon:
“Anak-anak muda tidak senang kalau nilai-nilai dipaksakan terhadap
mereka. Apa yang sesungguhnya mereka dipelajari ialah keterampilan-keterampilan
yang berguna bagi mereka untuk mengembangkan nilai-nilainya. Oleh karena itu,
lebih efektif mengajarkan proses pembentukan nilai (process of valuing)
daripada mengajarkan seperangkat nilai”.
Tujuan pendidikan
nilai menurut pendekatan ini ada tiga, yaitu:
1.
Membantu peserta
didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta
nilai-nilai orang lain.
2.
Membantu peserta
didik, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang
lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri.
3.
Membantu pserta
didik, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir
rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan
pola tingkah laku mereka sendiri.
Dengan pendekatan
penanaman nilai, para peserta didik tidak hanya disuruh menghafal dan disuapi
dengan nilai-nilai yang sudah dirumuskan oleh pihak lain, melainkan mereka
diajari untuk menemukan, menghayati, mengembangkan, dan mengamalkan nilai-nilai
hidupnya sendiri. Peserta didik tidak dipilhkan, namun mereka diberi kesempatan
untuk menentukan sendiri apa yang mereka yang mau kejar, perjuangkan dan
utamakan hidup mereka.
Fokus dari proses
klasifikasi nilai adalah bagaimana seseorang sampai pada pemilikan nilai-nilia
tertentu dan membentuk pola-pola tingkah laku. Proses pembentukan nilai
mencangkup tujuan subproses yang biasanya digolongkan menjadi tiga kategori
berikut:
1.
Memilih (kognitif)
|
1.
Memilih dengan
bebas
|
2.
Memilih dari berbagai
alternatif
|
|
3.
Memilih dari
berbagai alternatif sesudah mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing
alternatif
|
|
2.
Menghargai/
menjungjung (afektif)
|
4.
Merasa bahagia atau
genbira dengan pilihannya
|
6.
Bersedia mengakui
pilihannya itu didepan umum
|
|
3.
Bertindak (konatif/
behavioral)
|
7.
Berprilaku sesuai
dengan pilihannya
|
8.
Diulang-ulang
sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup.
|
Pendekatan ini memiliki banyak kelebihan terutama dalam
meberikan penghargaan yang tinbggi kepada peserta didik sebagai individu yang
mempunyai hak untuk memilih, menghargai dan bertindak berdasarkan nilainya
sendiri. Metode pengajarannya juga sngat fleksibel, selama dipandang sesuai
dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan.
Sama halanya dengan perkembangan kognitif, pendekatan ini
juga mengandung kelemahan, yakni menampilkan bias budaya Barat dan Amerika.
Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat
mementingkan nilai peseorangan.
Sistem pendidikan menurut pendekatan ini tidak lagi
berfungsi membentuk moral dan karakter peserta didik. Sebaliknya peserta didik
didorong untuk tumbuh dan berkembang kebebasannya dengan mengenalkan bahwa
tidak ada jawaban benar dan salah dalam kehidupan selama hati nurani menyatakan
benar sebgaimana dituliskan. Akibtatnya, peserta didik tidak mampu baik dan
benar karena setiap orang mempunyai penempatan sendiri-sendiri tentang baik dan benar.
E.
Pendekatan Pembelajaran
Bebuat
Pendekatan
pembelajaran berbuat memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan pada
peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun bersama-sama dalam suatu kelompok.
Ada dua tujuan utama
pendidikan moral yang diwujudkan dengan penerapan pendekatan ini. Pertama,
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, secara
perorangan maupun secara bersama-sama berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri.
Kedua, mendorong peserta didik untuk memposisikan diri mereka sebagai mahkluk
individu dan mahkluk sosial dalam pergaulan dengan sesama. Sebagai
konsekuensinya, mereka tidak bisa bertindak bebas sekehendak hati, namun
bersikap sebagai bagian dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalam
suatu proses dempkrasi.
Metode pengajaran
yang digunakan adalah metode yang digunakan dalam analisis nilai dan
klarifikasi nilai dan ditambah metode-metode lain yang digunakan sesuai agenda
kegiatan yang dilaksanakan di sekolah atau ditengah-tengah masyarakat ataupun
praktik keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan dengan sesama.
IV.
Menilai Kemajuan Pendidikan Budi Pekerti
Visi utama pendidikan
budi pekerti adalah untuk melakukan transfer dalam transmisi sistem nilai yang
memungkinkan peserta didik mengalami perubahan sikap, sifat dan perilaku secara
lebih positif. Tentunya, ada ukuran minimal untuk menilai ukuran seorang
peserta didik telah mengalami perkembangan kualitas karakter atau moral.
Seorang anak akan dinilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku
sehari-hari. Jika ia berperilaku jujur dan suka menolong, ia dikatakan sebagai
orang yang berkarter mulia. Sebaliknya, jika ia tidak berperilaku tidak jujur,
kejam atau rakus, ia dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek.
Seseorang yang
mengetahui sebuah nilai tapi tidak melahirkan mengamalan, maka kemungkinan itu
terjadi lantaran pengetahuannya masih berhenti pada titik coknitiodan tidak melahirkan apa-apa. Tapi hal tersebut bisa juga
dikarenakan pengetahuannya berhenti pada titik afectio bila ia merasakan nilai-nilai yang telah ia ketahui tapi
tidak sampai pengamalannya. Barangkali fenomena ini cocok untuk melukiskan
kejangggalan-kejanggalan perilaku para ahli hukum, seperti para advodkat, hakim
dan jaksa. Masyarakat mengenggap mereka mengetahui nilai-nilai untuk membela
dan menegakkan keadilan. Tetapi dalam kehidupan nyata, diantara mereka da yang
mengingkari atau bahkan menginjak-injak nilai keadilan tadi.
Kelemahan pedagogis
ini harus segera dibenahi. Pada konteks ini, setidak-tidaknya ada tiga langkah
yang perlu dilakukan dalam membenahi kualitas pendidikan budi pekerti. Pertama,
memeperkaya pendidikan budi pekerti yang beriontasi pada pengembangan proses
batin peserta didik sampai menembus volitio
conatio. Kedua, pendidikan budi pekerti sudah saatnya diorientasikan untuk
meberdayakan hati nurani peserta didik. Pemberdayaan hati nurani ini
dimaksudkan untuk membantu usaah peserta didik dalam mengembangkan kemampuan
hati nurani atau kesadaran moralnya agar ia mampuh menilai dan membedakan
kebaikan dan kejahatan moral dari perbuatn-perbuatannya secara personal. Dengan
hati nurani yang berkembang, peserta didik tidak menilai kebaikan dan kejahatan
perbuatannya hanya berdasarkan umpan balik dari orang lain seperti kritikan dan
teguran maupun pujian dan penghargaan, namun lebih berdasarkan kesadaran
moralnya sendiri.
Ketiga, perlu
kesadaran bersama orang tua, para guru dan seluruh warga masyarakat untuk
mengajarkan nilai-nilai budi pekerti. Alasannya, manusia dalam memahami
perbedaan antara kebaikan dan kejahatan moral tidak hanya cukup secara personal
dengan menggunakan hati nuraninya. Tetapi juga untuk membutuhkan pemahaman
terhadap nilai-nilai moral secara societal
atau
diberitahu oleh sesama warga masyarakat.
BAB
II
PENDEKATAN
INTEGRATIF DALAM
PROSES
PEMBELAJARAN AHKLAK
Suara-suara krtis yang mepertanyakan kontribusi pedidikan
agama dalam mendidik moral/ ahklak siswa hingga kini masih terdengar. Krtikan
itu muncul dipicu oleh ketidak puasan sebagai orang tua terhadap output pendidikan agama yang selama ini
dianggap belum optimal dalam mempersiapkan dan memperkokoh benteng moralitas
siswa dalam menghadapi godaan, residu, dan pengaruh-pengaruh negatif dari
kehidupan modern. Akibat masih rapuhnya bangunan moral atau ahklak
mengakibatkan sebagian anak dan remaja yang nota
bene berstatus pelajar (setidak-tidaknya pernah menjadi pelajar) gampang
terjerembab dalam lingkaran pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba,
kriminalitas, tawuran, dan praktik amoral lain.
Menghapus Dikotomi
Selama ini masih kita rasakan, betapa minimnya tingkat
keterlibatan guru dan non agama dalam ikut mendukung tugas-tugas guru agama
dalam membentuk moral anak. Jarang kita jumpai guru mata pelajaran non agama
yang punya kesadaran, apalagi komitmen, untuk mengaitkan materi yang
disampaikan dengan nilai-nilai ahklak atau budi pekerti. Pada guru agama
agaknya terfokus pada tugas-tugas penyampaian bidang studi yang menjadi
tanggung jawabnya.
Sikap guru non agama cenderung berorientasi pada
tugas-tugas mengajar sesuai bidang studi yang dipegangnya sudah tidak relevan
lagi dipertahankan. Hal ini setidak-tidaknya didasari dua alasan, yaitu:
1.
Pemberlakuan UU
Republik Indonesia NO 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
tanggal 8 Juli 2003 telah membawa implikasi yang cukup serius dalam dunia pendidikan
nasional. Kini dalam dimensi akhlak, moral atau budi pekerti mendapatakan
apresiasi secara khusus dalam UU tersebut.
2.
Secara anthropologis dan sosiologis, fungsi
pendidikan yang utama adalah untuk menumbuhkan kreatifitas subjek didik serta
untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak didik. Sebagai
konsekuensinya, semua proses pembelajaran di sekolah, apapun mata pelajarannya,
punya kewajiban untuk mengembangkan potensi-potensi kreatif subjek didik agar
menjadi manusia berahklak mulia.
Sayangnya, kesadaran
meng-sharing atau membagi tanggung
jawab dalam menanamkan nilai-nilai ahklak diantara para guru dalam realitasnya
di sekolah belum berjalan sesuai harapan. Yang terus terjadi justru proses
pembebanan tanggung jawab pendidikan ahklak atau budi pekerti ke pundak para
guru agama dan PPKn. Sementara pada pendidikan di luar mata pelajaran ini
secara moral merasa tidak punya tanggung jawab untuk mendidik ahklak siswa.
Sikap demikian itu
perlu diluruskan. Pasalnya, secara hakiki semua guru di sekolah dituntut
berupaya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, menumbuhkan
kreatifitas serta mengembangkan skill siswa agar nantinya menjadi generasi yang
berguna dan berbudi pekerti luhur. Singkatnya, lembaga pendidikan formal
dituntut menjalankan proses membangkitkan dan nilai-nilai budi pekerti.
Membangun
Sinergi Antar Pelajar
Proses penanaman
nilai-nilai ahklak atau budi pekerti di sekolah menengah akan berjalan efektif
jika ada korelasitas (saling berhubungan), konegsitas (saling menyapa) dan
hubungan sinergis antara pendidikan agama dengan mata pelajaran lainnya. Ini
berarti nilai-nilai ahklak atau budi pekerti tidak harus di bingkai dalam wadah
pelajaran Pendidikan Agama maupun PPkn, namun dapat juga diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran lain seperti bahasa indonesia, kesenian olahraga, dan
lain-lain dengan penekanan ruang lingkup dan muatan yang lebih mendalam. Atau
minimal, nilai-nilai ahqlaki dapat ditanamakan melalui aktivitas belajara
mengajar mata pelajaran umum dengan menggunakan terma ataupun bahasa yang mudah
diserap siswa. Sehingga dalam subtansial, dunia pendidikan kita tidak
mengembangkan keyakinan epistomologis ”ilmu bebas nilai”, namun sebaliknya
mengembangkan keyakinan epistomolgis “ilmu momot nilai”.
Oleh karena itu,
setiap mata pelajaran seyogyanya tidak hanya mengandung subtansi pelajaran yang
bersifat kognitif, namun yang dibalik hal-hal kognitif terdapata sejumlah nilai
dasar yang harus diketahui oleh siswa.
Pelajaran fisika misalnya mengajarakan kecermatan dan kejujuran dalam
pengamatan. Anak yang ceroboh dalam pengamatannya tidak akan memahami fenomena
fisika secara baik. Matentika juga mengandung nilai. Dalam matematika terdapat
nilai konsistensi dalam berfikir logis, pemahaman aksioma kemudian mencari
penyelesaian melalui pengenalan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada
(semua probabilitas) lalu mengelimasi sejumlah kemungkinan yang pasti akan
membawa kepada jawaban yang benar. Dari sini ada pengenalan probalitas, ada
emiliminasi probalitas, ada konklusi yang menunjukkan jalan yang pasti akan
menuju kepada suatu jawaban yang benar.
Komitmen
Kolektif
Berbagai sorotan
terhadap kelemahan pendidikan agama dalam menanamkan moralitas kepada siswa
sudah seyogyanya menggugah komitmen bersama untuk berikan pendidikan ahklak secara
maksimal ketimbang waktu-waktu sebelumnya. Jika memungkinkan, porsi pendidikan
ahklak diberikan secara terpisah dari beberapa mata pelajaran yang sudah ada.
Peluang untuk memberikan materi pelajaran pendidkan ahklak mandiri agaknya
terbuka lebar pasca pemberlakuan Kurikulum Berbasi Kompotensi (KBK) pada Juli
2004.
Kepala sekolah sangat
dibutuhksn untuk membantu penciptaan suasana yang mendunkung terbinanya budi
pekerti peserta didik, karena ia memiliki wewenang yang luas, melalui inisiatif
dan komunikasi yang lancar dengan guru dan tata usaha, kepala sekolah dapat
membina dan mengontrol pembentukan budi pekerti anak di sekolah.
Sementara dari
lingkunfan masyarakat yang menjadi tempat bergaul anak dituntut memberikan
pra-kondisi, menjadi referensi sekaligus cermin bagi implementasi ajaran ahklak
secara konsisten. Pada konteks ini, relevan kita kemukakan pendapat sebagian
pakar pendidikan yang menyatakan, bahwa pada saat ini masih terjadi kesenjangan
dan perbedaan antara lain sosial di sekolah dengan nilai sosial yang berkembang
di masyarakat. Bahkan ironis, dalam realitas sosial sering muncul (nilai ganda)
yang cederung membingunkan.
Sinyalemen itu bukan
isapan jempol, namun didukung oleh sejumlah fakta di lapangan. Di sekolah dan
dirumah, misalnya anak disuruh tekun, rajin belajar dan tidak menyerobot
kepunyaan orang lain. Namu, banyak di masyarakat banyak anak yang tidak belajar
dan tidak sekolah dengan baik tiba-tiba
jadi terkenal karena KKN.
Anak-anak di sekolah
diajar nilai-nilai kerukuna dan persaudaraan, namun realitas yang ia saksikan
menunjukkan gejala sebaliknya. Antara anggota masyarakat akhir-akhir ini
gampang berselisih dan bertikai gara-gara maslah sepele seperti rebutan lahang
ekonomi, rebutan harta warisan, perbedaan parpol, perbedaan pemahaman keagamaan
dan sebagainya. Anak diajari cara berbicara dan berprilaku sopan santun, tapi
begitu mudahnya ia menjumpai prang-orang ditepi-tepi jalan, kendaraan maupun di
tempat-tempat lain, mengeluarkan umpatan, cacian maupin kata-kata kotor. Anak-anak
juga diajarkan untuk menjauhi minuman-minuman keras tapi realitas yang
dilihatnya sering kali memperlihatkan banyak orang yang mendemontrasikan
perilaku sebaliknya seprti bermabuk-mabukan di warung-warung dan di
tempat-tempat hiburan.
BAB III
PARADIGMA MULTIKULTURALISME
DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Memperbincangkan
konsep pendidikan multikultural di tengah kehidupan masyarakat yang masih rawan
konflik brnuansa SARA seperti sekarang tentunnya snagat signifikan. Apalagai
seperti sekarang sejak ada himbauan Presiden Megawati Soekarnoputri kepada
Departemen Agama untuk mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan
multikultural (oktober / 2001), hingga kini belum muncul respons
sungguh-sungguh untuk menindak lanjutinya. Wacana pendidikan multi-kulturalisme
memang sempat menghangat di massa media dan menjadi bahan diskusi disejumlah
forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah upaya secara
sungguh-sungguh dan kontinue untuk memformulasikannya ke dalam gagasan yang
lebih aplikatif.
Bahkan dapat
dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian
dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat
salah paham soal SARA belum berjalan seacara signifikan. Sebaliknya, para elite
politik dan elite agama, atau pakar ilmu sosial adalam menganalisis akar
persoalan konflik cenderung menjadikan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai
kambing hitam. Amat sedikt yang mau mengakui kalau persoalan konflik atau
kekerasan itu berkait erat dengan praktik pengajaran pendidikan (agama) dan
moral yang belum mupuk kerukunan bersama.
Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan
dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masin g-masing
agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring keranah
pendidikan. mulai dari segi materi sampai metodologi yang diajarkan di sekolah,
peantren, seminari, dan masyarakat umumnya, memiliki kecendrungan untuk
mengajarkan pendidikan agama secara persial (kulitnya saja). Materi pendidikan
agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi maslah,semacam maslah
keyakinan seorang hambah dengan tuhannya. Seakan maslah syurga atau kebahagiaan
hanya dapat diperoleh dengan ibadah atau akidah saja. Sebaliknya pendidikan
agama kurang peduli dengan isu-isu umum (al
ahwa al hummah) semacam sikap anti korupsi, wajibnya transformasi sosial,
dan kepudilian terhadap sesama.
Fenomena di atas tentu saja patut disesalkan, pasalnya
saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya
internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras,
adat istiadat, dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan.
Alasannya, kondisi situasi bangsa pada saat ini belim benar-benar steril dari ancaman
konflik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi
bangsa. Bahkan dapat dikatakan, serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan
korban tewas seperti kasus Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996),
Rengasdengklok (1997), Sangau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan
Maliku sejak (1999), sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa
meledak jika tanpa langkah antisipatif secara dini. Untuk itu, mengahdirkan
konsep multikultural merupakan bagian dari usaha konferehensip dalam mencegah
dan menanggulangi konflik bernuansa SARA.
Disamping itu, kita juga telah berkomuitmen untuk
mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia baru yang lebih toleran dan dapat
menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), demokratis dalam perkehidupannya (democratization), mampuh menegakkan
keadilan hukum (law enforcement),
memilik kebanggaan diri baik individual maupun kolektif (human dignity) serta mendasarkan diri pada kehidupan beragam dalam pergaulannya (religionisme).
Konsep yang Mengakar
Jika kita telaah,
konsep multikultularisme sebenarnya relatif baru dibandingkan konsep pluralitas
maupun keragaman. Menurut Bhiku Parekh (Gurpreat Mahajan, Democracy, Difference,dan
justice, 1998 ), baru sekitar 1970-an
gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia,
kemudian di Amerika Serikat, Inggis, Jerman, dan lainnya. Selain itu, ketiganya
memiliki titik tekan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih
satu’ (many); keragaman menunjukkan
bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, bahkan tak
dapat disamakan. Sedangkan multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan
segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik sehingga dibutuhkan kesediaan menerima
kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan
budaya, etnik, jender, bahasa ataupun agama.
Wacana untuk multikulturalisme dalam konteks Indoneisa
menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang
seiring dengan jatuhnya resim Soeharto. Saat itu, negara menjadi kacau-balau
dengan berbagai konflik antara suku bangsa dan golongan, yang menimbulkan
ketrkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Keadaan demikain lantas
membuat berbagai pihak semakin mepertanyakan kembali sistem nasional seperti
apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa
mebuat suku-suku bangsa dan serta golongan hidup damai dengan menimalkan
potensi konflik.
Dengan ungkapan lain, bangunan Indonesia baru yang
diharapkan lahir dari rahim reformasi adalah “masyarakat multikultural
Indonesia”, atau masyarakat Indonesia yang berideologi multikulturalisme yang
bercirikan: rela dan sadar mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam
ksederajatan baik secara individual maupun dari secara kebudayaan. Berpijak
pada prinsip multikulturalisme ini, masyarakat Indonesia hakikatnya mengakui
dan menerima sebuah konstruk kebudayaan yang berlaku umum atau bercorak seperti
sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat
yang lebih besar.
Prinsip multikulturalisme ini sebenarnya telah menjadi
acuan bagi pendiri Bngsa indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai
kebudayaan nasional, sebagai dirumuskan dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang
berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di
daerah.
Oleh karena itu, prinsip multikulturalisme dapat dijadika
sebagai strategi dan pendekatan dalam merajut hubungan antara warga yang
belakangan ini mudah terbawa dalam suasana yang penuh konfliktual sebagai efek
samping dari era keterbukaan. Multikulturalisme juga dipakai sebagai perangkat
analisis atau perspektif guna memahami dinamika keanekaragaman latar belakang
budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan dan agama. Sebagai
integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati keanekaragaman
budaya.
Dalam konstelasi perpolitikan nasional, multikulturalisme
direkonstruksikan oleh sekolompok ilmuan sebagai hasil koreksi terhadap
kegagalan rezim Orde Baru dalam mengelola masyarakat yang multi-etnik ini. Orde
Baru saat itu cenderung menerapkan pendekatan asimilasionisme dan pendekatan
diferensialisme dalam mengelola perbedaan etnis, kultur, agama dan lain-lain.
Pendekatan asimilasionisme menganggap etnik minoritas
akan sepenuhnya membaur ke dalam masyarakat mayoritas (dan negara) dengan
melakukan tindakan “perubahan individual” yang sering kali berupa pengorbanan
individu untuk tidak lagi menjalankan berbagai kebiasaan, kepercayaan dan
berbagai aktivitas, sosio-kultural yang selama ini menjadi bagian penting bagi
identintas etniknya. Dengan cara ini, diperkirakan elemen perbedaan bisa
diminimalkan dan konflik bisa dihindari. Berpijak pada model ini, peran negara
ditingkat kebijakan maupun lkelembagaan sering kali terbatas karena perubahan
kearah apa yang dinamakan sebagai “pembauran” tadi telah dialihkan menjadi
tanggung jawab individual.
BAB IV
IMPLEMENTASI
DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa
tebal paradigma multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, solidaritas, dan intiminitas diantara beragamnya etnit, ras,
agama, budaya dan kebutuhan diantara kita.
Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi
lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap untuk peserta didik
dalam menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain, harapannya dengan
implementasi yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa untuk mengerti,
menerima, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, agama, nilai dan
kpribadian.
Lewat penanaman semangat multikulturalisme di
sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi
muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, dan etnis dan kebutuhan
diantara sesama dan mau hidup bersama secara damai.
Agar proses ini berjalan sesuai dengan rencana atau
harapan, maka segyanya kita mau jika pendidikan multikultural
disesosialisasikan dan didesiminasikan melalui lembaga pendidikan, serta jika
mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai
jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma
multikultural secara implisitjuga menjadi salah satu dari Pasal 4 UU NO. 20
Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam pasl itu dijelaskan, bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa.
Pada kontes ini dapat dikatakan, tujuan utama dari
pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, rspek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih
jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan
atau setidaknya tidak setuju dengan ketidaktoleran seperti inkuisisi
(pengadilan negara atas sah tidaknya teologi atu ideologi), peran
agama,diskriminasi, dan hegomoni budaya ditengah kultur monolitik,
uniformunitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebai sebuah
konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruang kosong, namun ada interes
plotik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana
pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar
sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok tertindas
di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal usul pendidikan
multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika
dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di
lembaga-lembaga publuk pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an.
Diantara lembaga-lebaga yang secara khusus disorot karena
bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan.
pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga
pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin
kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka
menuntut adanya persaan kesempatan dibidang pekerjaan dan pendidikan momentum
inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan
multikultural.
Tahun 1980-an, agaknya yang dianggap sebagai kemunculan
lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh
para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan
multikultural dia yang mebumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide
persamaan pendidikan.
Pada pertengahan dan akhir tahun 1980-an, muncul
sekelompok sarjan diantaranyan Cal Grant,
christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan yang
lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang
membumikan persamaan dan menghubungkannya dan tranformasi dan perubahan sosial.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalannya
menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki
keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini
pendidkkan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum
yang dibahas meliputi pemhaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang
beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep
pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim
otoriter-militeristik Orde Baru hempasan badai reformasi. Era reformasi
ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang
meningkatnya kecendrungan primordialiasme. Untuk itu, dirasakan kita perlu
menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat
primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikn multikultural memang sebuah
konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan
bagi semua siswa yang berbeda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya.
Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalh untuk
membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan sikap, dan keterampilan yang diperlukan
dalam menjalakan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat
demikratis-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi dan
komunikasidengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanam
masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Menurut James A.
Banks, tujuan pendidikan multikultural dirumuskan sebagai berikut:
Pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk
kebebasan. Pendidikan multikultural yang dimaksudkan untuk membantu para siswa
dalam mengembangkan pengetahuan sikap, dan keterampilan dalam berpartisipasi
dalam masyarakat yang bebas dan berdemokratis. Pendidikan multikultural
mengembangkan kebebasan, kemampuan dan keterampilan dalam menerobos batas-batas
budaya dan etnis dalam berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain.
Singkatnya, paradigma pendidikan multikultural
diharapakan dapat mengahpus stereotipe, sikap dan pandangan egoistik,
individualistik dan ekslusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, senatiasa
dikondisikan bagi tumbuhnya pandangan komperehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang
,mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi
dengan lingkungan sekelililng yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, ras, agama dan budaya serta kebutuhan.
Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses
pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan
proses idenrifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, susku bangsa dan
masyarakat global. Pengenalan suku bangsa artinya, anak dilatih untuk bisa
hidup sesuai kemampuannya dan berpearan positif sebagai salah satu seorang
warga dari masyarakatnya
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural
dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
1.
Pendidikan
multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan
panadangan dan perspektif banyak orang.
2.
Pendidikan
multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal
pada kebenaran sejarah.
3.
Kurikulum dicapai
sesuai dengan penekanan analisis komperatif dengan sudut pandang kebudayaan
yang berbeda-beda.
4.
Pendidikan
multikultural harus mendukung prinsip-prinsippkok dalam memberantas dengan
klise tentang ras, budaya dan agama.
Bisa digaris bawahi, nilai dasar pada pendidikan
multikultural adalah toleransi. Oleh karena itu, toleransi merupkan sikap
kewargaan yang aktif , bukan sikap yang sepontan. Maka sikap toleran tidak akan
tertanam dengan sendirinya, tanpa adanya usaha sadar menginternalisasikannya.
Sikap toleransi harus di didikkan, tidak cukup berhenti pada wacana. Keputusan
majelis ulama, keputusan konsili, kesepakatan gereja-gereja sedunia dan
kesepakatan hasil pertemuan tokoh agama yang menganjurkan toleransi tidak akan
cukup efekti bila hanya berhenti di alas kertas dan bibir, tanpa dukungan
pendidikan dalam arti luas.
Sebagai konsekuensinya, agar pendidikan lebih
multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus memperkokoh pluralisme dan
menentang adanya rasisme, diskriminasi, gender dan bentuk-bentuk lainnya dari
intoleransi dan dominasi sosial.
Seorang pendidik bisa menggunakan “payung multikultural”
dalam membatu anak didik untuk memahami keterlibatan banyak kelompok dan
keinginan di masyarakat. Caranya anak didik di kelas diberi waktu 5-10 menit
untuk menyusun daftar anggota kelompoknya. Tiap-tiap kelompoknya membacakan apa
yang tertulis diruas payung yang dihadapinya.
Setelah itu, kelompok lain disuruh untuk memberikan
reaksi, refleksi dan tanggapan. Jika anak didik bisa menarik pemahaman terhadap
payung multikultural tersebut, diyakini hal itu akan menumbuhkan sensitifitas
multikultural mereka, yakni sebuah kesadaran bahwa anekaragam ras, etnis,
agama, kebudayaan dan kelompok kepentingan yang dihadapinya tak akan
menghalangi mereka untuk hidup berdampingan secara damai, rukun dan kohesif.
Atas dasar ini maka pendidikan multikultural sangat
menekankan orientasi proses pendidikan pada siswa atau komunitas tertentu, yang
memungkinkan guru memahami keyakinan serta nilai-nilai sosio-budaya siswa dalam
konteks kebudayaan masyarakat ketika merancang model pembelajarannya. Para
pendidik pada konteks ini disarakan menggunakan metode-metode yang bersifat
antropologis untuk mengidentifikasi kelompok sosio-budaya, nilai-nilai serta
peraktiknya yang memengaruhi proses berkaryanya. Pendekatan itu juga
menyarankan pentingnya mengidentifikasi penggunaan pendidikan yang tanggap
budaya, yang secara lebih tegas dapat menunjukkan perbedaan etnik dan
sosio-budaya di kelas, masyarakat, dan nasional.
Pada akhirnya, bisa tidaknya wacana pendidikan
multikulturalisme di terapkan oleh lembaga pendidikan tergantung pada iktiar
kita bersama. Pada konteks ini, Depdiknas R.I agaknya sebagai pihak yang pantas
ditunggu peran aktifnya. Setidak-tidaknya Depdiknas R.I mau mengadopsi
pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah dari
tingkat SD sampai pada tingkat SLTA.
Multikulturalisme sebaiknya di masukkan ke dalam
kurikulum sekolah dan pelaksanaan dapat dilakukan sebagai pelajaran
ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah (khususnya untuk
daerah-daerah bekas konflik berdarah antara suku bangsa, seperti di Poso,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan berbagai tempat lainnya. Jika
pelajaran multikulturalisme jadi dilaksanakan di sekolah-sekolah, maka bisa
menjadi antisipasi dalam mencegah munculnya konflik berdarah antara sukubangsa.
BAB
V
MENYELAMATKAN
PELAJAR DAN MAHASISWA DARI ANCAMAN NARKOBA
Tiap tanggal 26 Juni kita memperingati Hari Anti-Madat
sedunia, atau sekarang dikenal denga sebutan Hari Internasional Melawan
Penyahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Angka penyalahgunaan Narkoba
meningkat tajam meski aparat keamanan Badan Nakotika Nasional (BNN), Gerakan
Anti Narkoba (Granat) serta beberapa LSM yang peduli terhadap permaslahan
Narkoba.
Berdasarkan catatn, kasus-kasus narkoba yang terungkap
meningkat tajam di Indonesia setiap tahun 288 triliun terbuang percuma untuk
meningmati narkoba. Sebanyak 5,5 juta jiwa pernah atau sedang mengalami
ketergantungan narkoba, dan angkahnya terus bertambah. Sekedar gambaran, pada
tahun 1998 ada 938 kasus, tahun 1999 terungkap 1.833 kasus berarti peningkatan
91,1 persen. Sedangkan tahun 2000 ada 3.478 kasus berarti peningkatan 91 persen
dari tahun sebelumnya dan meningkat lagi 3.617 kasus pada tahun 2001.
Data lain yang dihimpun dari Rumah Sakit ketergantungan
Obat (RESKO) Jakarta dan kepolisian memperlihatkan peningkatan tajam jumlah
pasien. Tahun 1996 tercatat 1.779 kasus, tiga tahun kemudian melonjak menjadi
8.170 kasus. Lebih mengerikan lagi karena ternyata penyalahgunaan narkoba
khususnya yang menggunakan jarum suntik berkaitan dengan HIV/AIDS. Sekitar
30-40 persen penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik trinfeksi HIV / AIDS.
Data yang sangat memperihatinkan: penggunanya rata-rata usia muda dan jaringannya semakin meluas, bahkan sudah
sampai ke anak-anak SD.
Penyebab Penyalahgunaan
Narkoba
Kita mengakui
penyalahgunaan narkoba bagaikan fenomena gunung es. Jumlah pelaku yang tampak
kepermukaan yang jauh lebih kecil daripada jumlah pelaku yang sebenarnya.
Maraknya peredaran narkoba akhir-akhir ini semakin memperkuat kesimpulan kita
bahwa Indonesia bukan lagi tempat transit perdagangan dan peredaran gelap
narkoba, namun telah menjadi daerah pemasaran bahkan telah menjadi produsen
peredaran gelap. Pintu masuknya narkoba di Indonesia semakin bayak sehubungan
dengan semakin terbukanya jalur transportasi dari luar negeri langsung ke
kota-kota di Indonesia baik melalui udara maupun laut.
Sebagai pasar
peredaran narkoba, maka tak salah jika kita menduga bahwa saat ini sudah ada
sindikat peredaran narkoba di Indonesia.
Para pengedar narkoba di Indonesia tampaknya telah membangun sistem peringatan
jaringan yang tersendiri sehingga memilik komunikasi tertentu yang sukar
dikenal maupun orang luar kelompoknya serta menjadikan beberapa kawasan sebagai
basis kegiatannya.
Mereka kini telah
menjadi sindikat yang refroduktif, artinya setiap pecandu harus terus mencari
pecandunya yang baru supaya tidak kehilangan jalur pemberi obat yang
dibutuhkan. Tak heran kalau sistem ini melibatkan kalangan atas karena dengan
kalangan inilah yang umumnya mampu menciptakan sandi-sandi canggih unutk
menjaga jaringannya. Berangkali itupulalah yang menjadikan jaringan menjadi
lembaga sehingga amat sukar untuk dipangkas.
Akibatnya, beberapa
daerah yang dulunya steril dari peredaran narkoba kini mulai dijadikan pangsa
pasar baru. Area peredaran narkoba belakangan ini bukan hanya terkonsentrasi di
kota-kota besar, namun telah beredar ke kota-kota kecil lainnya. Beberapa kota
yang dahulu dikenal agamis sekarang juga telah dimasuki peredaran narkoba.
Disamping itu, 70 persen pengguna narkoba adalah kaum remaja (sebgaian besar
berstatus pelajar), yang semakin mudah mendapatkan narkoba antara lain lewat
transaksi di sekolah, mall, salon, panti pijat, diskotik, hotel, tempat wisata
dan tempat-tempat hiburan lainnya.
Sebagaiman laporan
yang terungkap dari Pokja Depdiknas, bahwa untuk memperoleh di lingkungan
sekolah saat ini sangat mudah dan harganya juga cukup murah jika dibandingkan
waktu sebelumnya. Dulu, dengan uang 30 ribu baru dapat memperoleh ganja, saat
ini dengan hanya uang 10 ribu siswa mudah dapat memperoleh barang haram
tersebut.
Singkat kata,
sindikat bperdaran narkoba telah menyebar secara luas. Mereka telah menjadikan
pelajar dan mahasiswa sebagai target pemasaran sekaligus sebagai oknum
pengedarannya. Akibatnya angka partisipasi pelajar terhadap penyalahgunaan
narkoba kini cukup mencengangkan.
Dari sejumlah
penelitian terungkap, setidak-tidaknya ada tiga faktor dominan yang mendoromg
seseorang terjerat menjadi pecandu narkoba, yaitu:
1.
Faktor yang datang
dari lingkungan keuarga,
2.
Suasana keluarga yang
mebosankan,
3.
Keretakan keluarga (broken home),
4.
Minimnya perhatian
dan kasih sayang terhadap terhadap orang tua dan kebiasaan memanjakan anak.
Adalah sejumlah
faktor yang datang dari dalam keluarga yang berpotensi mendorong remaja lari ke
narkoba. Logikanya, jika keluarga tak lagi nyaman dan bersahabat sebagai tempat
berbagai masalah dan menumpahkan keluh kesah, tentu hal itu akan membuat remaja
menjadi gelisah, bimbang, bingin dan marah.
Dalam kondisi
psiko-fisis mereka yang masih diliputi suasana tidak pasti dan penih gejolak
tentu ketidak harmonisan ayah-ibu akan membawah dilema psikologis baginya.
Remaja, di satu pihak ingin melepaskan diri dari pengaruh orang tua, tapi
dipihak lain dia belum mampu sepenuhnya berdiri sendiri. Dalam keadaan
demikian, jika orang tua tidak bisa bertindak sebagai panutan atau pengayom,
maka remaja akan mencari tempat sandaran lain berupa kelompok para remaja.
Upaya Pemberantasannya
Menyadaribahaya
penyalahgunaan narkoba itu wajar jika narkoba dinyatakan sebagai salah satu
ancaman faktual bagi keberhasilan pembinaan moral bagi generasi muda. Jika
ancaman narkoba itu tidak berhasil tertanggulangi, maka hal itu akan menjadi
bencana nasional. Sebab akibat yang diderita oleh sesorang yang telah kecanduan
norkoba amat berat. Diantara bahayanya adalah, ia akan mengalami degradasi
mental yang diperkirakan masa depannya akan gelap dan boleh dikatakan hidupnya
tidak berguna lagi. Sementara untuk merawat dan merehabilitasinya seperti
sediaka memerulkan biaya yang amat banyak. Apalagi faktanya menunjukkan bahwa
sebagian besar para pecandu narkoba sangat potensial untuk kambuh kembali.
Di samping itu, jika peredaran narkoba tidak berhasil
diberantas atau stidak-tidaknya dieliminir, bisa-bisa akan menjadi pemicu
terjadinya logs generation. Hal ini
terjadi karena banyak kader muda potensial yang seharus dapat menjadi tulang
punggung bangsa di masa depan terpaksa pupus di tengah jalan akibat terjerat
narkoba.
Sebagaimana analisis dari pihak kepolisian, keterlibatan
mahasiswa dalam jaringan peredaran narkoba di sinyalir dilatar belakangi adanya upaya sistematis
dari pihak tertentu untuk menghancurkan masa depan bangsa. Logikanya, dengan
menghancurkan mahasiswa melalui narkoba,
Dapat
dipastikan Indonesia akan tertinggal dalam berkompotisi dengan negara-negara
lain.
Sebenarnya, banyak hal yang turut memengaruhi maraknya
kejehatan narkoba akhir-akhir ini. Faktor keberanian yang muncul dari pengedar
beroperasi sangat tergantung pada kesungguhan maupun keaktifan aparat keaman
dalam menjalankan tugasnya, keberanian masyarakat untuk melaporkan tindakaj
kejehatan, kondisi tatakota dan sejenisnya. Kekacauan sostem pengamanan kota
maupun sikap penakut masyarakat ketika melihat kejehatan, misalnya juteru akan
membuka peluang bagi pengedar narkoba di wilayah tersebut.
Di pihak lain, aparat
hukum mulai dari pihak jaksa, ahkim hingga pengacara juga sangat
memengaruhi faktor kegagalan pemberantasan narkoba. Berat ringannya hukuman
yang akan diterima kalau tentu membentuk keberanian maupun ketakutan para
pelakunya. Semakin nyata upaya penegakan dan kepastian hukum dalam menindas
tegas para pelakunya dalam memberikan hukumann berat tentu akan meredam nyali
orang yang akan mengonsumsi narkoba.
Atas dasar itu untuk mengantisipasi munculnya kasus
penyalahgunaan narkoba pada masa mendatang memerlukan kerjasamasinergis antara
pihak orang tua, institusi pendidikan, aparat penegak hukum, lingkungan dan
generasi muda sendiri sebagai pelaku potensialnya. Orang tua selain memertlukan
kebutuhan fisik anak juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan psikologis anak,
seperti kasih sayang, perhatian, penghargaan dan rasa aman.
Kondisi-situasi lingkungan juga perlu mendukung
pertumbuhan moralitas anak secara sehat dengan disertai pengawasan dan
perhatian secara proporsial. Masyarakat hendaknya tidak berdiam diri kalau
melihat peraktik penyalahgunaan narkoba di wilayahnya. Ia harus aktif memantau
dan melaporkannya ke aparat keamanan bila menjumpai kasus itu.
Institusi pendidikan mulai dari unsur pimpinan, para
pendidik maupun karyawannya harus secara berkewajiban untuk membentuk moral
anak didiknya serta berupaya menyadarkan anak tentang bahay narkoba. Khususnya
bagi guru agama, mereka perlu menanamkan nilai-nilai ke agamaan secara serius
kepada anak-anak dan remaja sehingga mereka punya kualitas keagamaan yang baik,
mereka akan membentengi diri dari pengaruh buruk lingkungan, dapat menilai baik
buruknya perbuatan, dapat membedakan mana kebahagiaan semu dan yang mana
kebahagiaan sejati.
Dalam proses penanaman nilai-nilai keagamaan tersebut,
anak-anak dan remaja juga perlu disadarkan bahwa kebahagiaan hidup sejati tidak
dapat diperoleh lewat triping, fly serta
upaya-upaya semua seperti yang ditawarkan narkoba. Narkoba tidak akan
menawarkan kebahagiaan apa-apa, malahan kerusakan yang diberikan. Karena itu,
agama jelas-jelas melarang kita untuk mencicipi benda-benda syetan ini serta
mengajarkan bahwa kebahagiaan hakiki hanya akan diraih jika ia mampu
menunjukkan komitmen keagamaannya. Sementara, untuk masyarakat kampus
disarankan agar melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan narkoba dengan
metode perlawanan mandiri yang dilibatkan seluruh instrumen kampus, termasuk
organisasi intra dan ekstra kampus.
Yang tak kalah pentingnya, semua aparat keamanan harus
melakukann upaya preventif maupun kuratif terhadap berbagai kasus
penyalahgunaan narkoba secara terencana, kontinyu, terpadu dan tuntas sehingga
dapat mengurangi kuanritas maupun kualitasnya. Mereka, dengan dibantu anggota
masyarakat, membahu memerangi penyalahgunaan narkoba naik secara represif
maupun secara reventif.
Disamping itu, penganan terhadap pengguna pengguna
narkoba yang tertangkap perlu dilakukan secara intensif. Jangan sampai terjadi
setelah seorang memakai narkoba tertangkap dibiarkan begitu saja tanpa diobati
dan direhabilitasi. Untuk langkah ini, tampaknya kita perlu belajar dari
Singapura dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, para pengguna narkoba yang
tertangkap diobati hingga sembuh dengan biaya pemerintah setempat.
BAB VI
MENGURANGI AKAR PENYEBAB TAWURAN ANTAR
PELAJAR
Tawuran antar pelajar
agaknya telkah menjadi fenomena rutin yang terjadi pada tiap awal tahun ajaran
baru, menjelang akhir pembelajaran atau disela-sela itu. Ibaratnya tawuran
antarpelajar menjadi ”kegiatan ekstrakurikuler” pengganti yang sering membuat
resah para guru, orang tua, dan anggota masyarakat. Keresahan itu dapat
dimaklumi karena tawuran pelajar seringkali menjurus kearah tindakan kriminal
yang dapat membawa kerugian materi, fisik, bahkan korban jiwa.
Sebab-sebab Tawuran Pelajar
Sebenarnya, cerita
tentang kenakalan remaja sering kita dengar. Rekaman ulah negatif mereka selama
ini diwarnai dengan aksi penyalahgunaan narkoba, tawura, peraktik asusila
seperti seks peranika, mabuk-mabukan serta aksi pelanggaran moral lainnya.
Namun, belakangan muncul fenomena baru kenakalan remaja yang sungguh membuat
bulu kuduk kita berdiri karena telah menjurus ke tindakan kriminal kelas
tinggi. Dalam setahun belakangan diberitakan banyak pelajar Semarang yang
terlibat berbagai tindakan asosial tersebut.
Kita akui, ada
beberapa tindakan yang untuk menjelaskan akar penyebab tawuran pelajar. Di
antaranya dikemukakan oleh Akar Krimonolog FISIF Universitas Indonesia Prof.
Tubagus Roni Niti Baskara, menurutnya, pendekatan individu yang selama ini
diterapkan untuk menangani tawuran antar pelajar harus diubah menjadi
pendekatan kelompok. Hal ini dikarenakan dari sejumlah penelitian yazng pernah
dilakukannya terungkap bahwa perilaku kelompok yang lebih mendominasi perilaku
individu pelajar. Anak-anak yang di lungkungan keluarga atau sekolah
berperilaku manis dan tidak pernah bermasalah, ternyata tidak sedikit yang
terlibat dalam tawuran di jalanan. Itulah sebabnya, banyak orangtua dan guru
yang sering tidak percaya ketika anaknya ditangkap polisi atau menjadi korban.
Dengan pendekatan
kelompok itu setidaknya ada tiga hal yang dapat dikemukakan sebagai penyebab
tawuran, yaitu:
1.
Rasa bermusuhan yang
diwariskan secara turun temurun dari angkatan keangkatan berikutnya. Ini
menimbulkan mitos seolah-olah siswa dari sekolah tertentu ada musuh buyutan
dari sekolahnya.
2.
Rasa solidaritas dari
kelompok basis (barisan siswa) yang terbentuk karena kedekatan lokasi sekolah
atau adanya siswa sekolah yang dianggap musuh bersama. Bisa juga terbentuk
basis, karena rute perjalanan yang sama.
3.
Munculnya rasa tidak
aman dari serangan dari serangan yang serung terlibat tawuran atau karena
sering menjadi korban pemalakan.
Senada dengan Roni,
Dr. Muhammad Mustofa berpendapat bahwa, tawuran antar pelajar terjadi karena
ketegangan struktural yang mendorong pelajar merasakan ketidak adilan dan
ketidakpuasan. Ketidak adilan dan ketidakpuasan adalah suatu yang maya, maka
diciptakanlah musuh yang bersama yang kelihatan jelas. Yang paling mudah adalah
sesama pelajar dari kelompok atau sekolah lain. Lebih lanjut dikemukakan
Muhammad Mustofa , tak ada hubungan antara budi pekerti dengan kebiasaan
tawuran. Anak yang baik-baik dan manis di sekolah, tak menjamin begitu berbaur
dengan teman-temannya lantas tak terlibat tawuran.
Jadi, tawuran pelajar
termasuk perilaku massa yang tidak ada hubungannya dengan perilaku dan sifat
individu pelajar. Pelajar yang sehari-hari yang alim dan rajin belajar bisa
menjadi pembunuh bengis dalam tawuran. Kita sering temukan gejala “basis”,
yaitu kiumpulan anak sekolah tertentu membentuk kelimoik sangat kohesif, yang
selalu merasa terancam serangan sekolah lain. Mereka hanya bisa selamat jika
bersatu. Kelompok terbentuk di luar sekolah, khususnya dalam bis atau
pemberhentian bus.
Atas dasar itu maka
tawuran pelajar bukan suatu perbuatan individual, namun sebagai perilaku
kolektif yang dipicu oleh sebagian faktor dari luar. Sekurang-kurangnya ada
tujuh faktor eskternal yang menjadi pemicu tawuran pelajar, yaitu adanya
kemiskinan, lingkunan rumah yang padat dan sumpek, kurangnya kendaraan umum
serta keadaan yang begitu bervariasi dan heterogen dalam masyarakat yang
membuat kondisi menjadi tak menguntungkan dan memunculkan konflik secara tidak wajar.
Juga, adanya
perbedaan antara sekolah swasta dan negeri, kejuruan dan umum, unggulan dan
bukan ternyata tak menguntungkan sehingga memunculkan konflik. Bagi anak-anak
tertentu yang keadaan sekolahnya merasa lebih buruk, bukan sekolah unggulan,
hal itu akan dipahami sebagai suatu yang memunculkan rasa yang ketidakadilan.
Mereka terlibat
tawuran karena tuntutan solidaritas, gensi, harga diri untuk melawan rasa
rendah diri, membela diri, mearasa didahului, merasa ditantang , menerima
“warisan” kakak-kakak kelas dan macam-macam lagi. Pandangan yang mengakui
kuatnya pengaruh lingkungan terhadap munculnya tawuran pelajar juga telah
dijelaskan para sosiolog.
Demikian pula para
perilaku sosial menyimpang seperti tawuran akan cenderung dianggap wajar dan
normal pada kampung-kampung yang berantakan dan tidak terorganisasi secara
baik. Kampung-kampung ini lebih tepat dikategorikan sebagai kawasan kejehatan.
Pada kawasan seperti ini, warganya telah berkenalan dengan nilai-nilai kriminal
yang sudah tertanam dalam tingkah laku sehari-hari. Apa terjadinya jika para
pelajar yang berlatar belakang kehidupan sosial demikian. Tentunya mereka sudah
akrab dengan kekerasan, tawuran dan sejenisnya.
Barangkalai sebagaian
komunitas pelajar di kota-kota besar sudah ada yang mengembangkan pola hidup
terbalik ini. Denganpola hidup terbalik ini, seorang peljar justru
membangga-banggakan diri atau kawannyayang telah berhasil mengeroyok atau
melikai kelompok pelajar lainnya. Jadi, tindakan kekerasan atau tawuran
menjelma sebagain simbol atau identitas kebanggaan sosialnya.
Perilaku sosial yang
menyimpan ini juga dapat dijelaskan dengan konsep sosialisasi. Menurut konsep
sosialisasi, perilaku seseorang terpengaruh cara dia menghayati niali-nilai
atau norma-norma sosial. Dia akan mengalami tindakan menyimpang kalau
penhayatan nilai-nilai itu lewat sebagian besar temannya atau kakak kelasnya
yang sudah menyimpang, sehingga menyimpang sosial dilakukan pelajar remaja
karena mengikuti temannya atau kakak kelasnya. Sebagai akibatnya, jika kakak-kakak
dulu suka tawuran maka biasanya hal itu akan menurung pada adik-adik kelasnya.
Hal ini terjadi karena anak-anak di kelas rnedah terinspirasi oleh tingkah laku
kakaknya. Tampaknya, tindakan siswa kelas atas atau senior merupakan modelling bagi anak-anak yunior.
Sebuah Pelajaran
Peristiwa tawuran
pelajar sudah sepatutnya dijadikan pelajaran, sehingga kita mesti bersikap
hati-hati dalam menjaga tunas-tunas muda itu. Lantaran kejadiannya berakar pada
dimensi sosial budaya, maka dalam menanganinya dibutuhkan keterlibatan
institusi sosial secara kolektif, mulai dari institusi keluarga, lingkungan,
sekolah, dan aparat kepolisian.
Selain dituntut untuk
memenuhi kebutuhan fisik anak orang tua juga dituntut untuk mencukupi segala
kebutuhan psikologisnya, seperti kasih sayang, perhatian penghargaan, rasa
aman, ksempatan untuk beraktualisasi diri dan lain-lain. Kondisi-kondisi
situasi lingkungan juga mendukung petumbuhan mentalitas anak secara sehat lewat
pemberian kesempatan berkreativitas dengan disertai pengawasan dan perhatian
yang proporsional.
BAB
VII
MEMBERI
MUATAN EDUKATIF PADA
TAYANGAN
TELEVISI NASIONAL
Televisi kini telah menjelma sebagai sahabat yang aktif
mengunjungi anak-anak. Bahkan di lingkungan keluarga yang para orang tuanya
sibuk bekerja di luar rumah, televisi telah berfungsi ganda, yaitu sebagai
penyaji hiburan sekaligus sebagai pengganti orang tua dalam mendampingi
keseharian anak-anak. Ironisnya, di tengah-tengah peran vitalnya selaku media
hiburan keluarga dunia pertelevisian kini telah mengalami disorientasi dalam
ikut pendidikan oleh para penontonnya. Sebagaiman dikemukakan oleh lembaga
sensor film (LSF), Ttie Said, dunia prtelevisian kini terancam oleh unsur-unsur
vulgarisme, kekerasan dan fornografi (KR, 23/9-2003).
Ketiga unsur itu hampir-hampir sajian rutin disejumlah
stasiun televisi serta dapat ditonton secara bebas bahkann oleh kalangan
anak-anak. Padahal ketiga unsur tersebut mestinya dicegah agar tidak ditonton
anak-anak mengingat kondisi pskologis mereka yang belum mampu untuk membedakan
yang mana yang baik dan yang mana yang buruk atau yang mana yang bersifat
negatif atau yang mana yang bersifat positif dari sebuah tanyangan televisi.
Kiata akui belakangan ini berbagai tanayangan televisi
cenderung disajikan secara kurang selektif. Tayangan sinetron televisi,
misalnya kini dinominasi oleh kisah-kisah percintaan orang dewasa,
banyolan-banyolan konyol ala betawi, intrik-intrik rumah tangga dari keluarga
elit, cerita laga dan sejenisnya.
Jika terus-terusan di tonton anak, maka hal itu akan
membawa pengaruh kurang sehat bagi mereka. Sementara tayangan film yang
khususnya disajikan untuk anak-anak seringkali berisi adegan jorok dan
kekerasan yang dapat merusak perkembangan jiwa. Di sisi lain, aneka acara yang
sifatnya mrnghibur anak-anak, seperti acara permainan, pentas lagu-lagu dan
sejenisnya kurang memperoleh prioritas, atau hanya sedikit jam tanyang.
Masih minimnya komitmen televisi nasional dalam ikut
mendidik anak-anak tampaknya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para pemilik
pengelola televisi. Orientasi pendidikan perlu menjadi semangat kerja para
pemilik dan pengelola televisi, dalam rangka membantu tuga sorang tua, sekolah
dan masyarakat dalam mendidik budi pekerti dikalangan anak-anak hal itu perlu
ditekankan , terlebih lagi jika mengingat lembaga pendidikan maupun kalangan
orang tua akhir-akhir ini semakin kewalahan dalam mebentuk budi pekerti, etos
belajar, kedisplinan, nilai-nilai kesopanan dan kreatifitas dikangan anak-anak
dan remaja.
Mencegah
Dampak Negatif
Munculnya beberapa TV swasta baru, anatara lain metro TV,
Lativi dan TV 7, sebenaranya di sambut hangat oleh publuk. Hal ini lantaran
piblik merasa memperoleh tambahan berbagai sajian acara baru yang lebih
beragam. Booming TV swasta sangat diharapakn untuk memberikan pencerahan budaya
sekaligus pencerdasan melalui saluran informasi yang disampaikan secara tajam,
objektif dan akurat.
Perang Orang
Tua
Untuk membantu anak
dalam memanfaatkan tayangan televisi secra positif nampaknya agak sangat
membutuhkan peran yang optimal orang tua, terutama dalam mendampingi dan
mengontrolnya. Orang tua harus sabar menda[ingi anak-anaknya saat menonton
televisi, ahal ini dapat dilakukan oleh orang tua agar anak-anaknya tidak
terpolusi oelh “limbah budaya massa” yang terus mengalir lewat teknologi
komunikasi yang hanya mempertontongka hiburan sampah seperti tanyangan opera
sabun maupun sinetron akhir-akhir ini.
Maka dari itu, pihak orang tua membimbing anak
dengan cara memberikan penjelasan tentang yang mana yang panatas atau layak
untuk ditonton dab yang mana yang tidak layak untuk ditonton dengan carah
mengarahkan anak sambil meberikan sedikit contoh yang dapat ditimbulkan oleh
suatu siaran TV yang bersifat negatif.